Selasa, 18 Desember 2007

Refleksi

MENGIKIS POLA HIDUP SEKULERISME DALAM MASYARAKAT MUSLIMPerayaaan Idul Adha pada tiap tanggal 10 Dzulhijjah menjadi momentum berharga bagi umat Islam dalam memperbaiki pola keberagamaan dan kualitas peribadatan agar lebih sejalan dengan tuntutan nilai-nilai Qur’ani. Sebuah upaya untuk membangun kualitas keagamaan menjadi pekerjaan besar umat Islam mengingat kecenderungan keberagamaan mereka yang hingga saat masih bersifat ambigiutas. Kecenderungan keberagamaan yang ambigiutas ini antara lain ditandai dengan tingginya gairah peribadatan pada saat bulan ramadhan namun kembali sepi dan merosot pada bulan-bulan di luar ramadhan.
Keberagamaan seperti itu cenderung melahirkan sikap kurang konsisten dalam beragama karena tidak didasari sikap loyal atau setia terhadap ajaran agama. Jika sudah demikian, ajaran agama yang diyakini tidak mampu melekat sebagai sumber nilai yang memandu perjalanan hidupnya. Akibatnya, akan merenggangkan jarak antara tuntutan das sein atau idealitas Qur’ani dengan das sollen atau realitas hidup yang dihadapi. Banyak orang yang secara formal memeluk Islam, namun prilaku sosial, ekonomi, budaya maupun politik yang yang dipraktekkan kurang mencerminkan nilai-nilai Islami. Pola hidup seperti ini secara sosiologis dikenal dengan pola hidup sekuleristik.
Fenomena Sekulerisasi
Dalam skala global, persoalan pokok yang dihadapi agama memang masalah sekulerisasi. Sekulerisasi itu menjelajahi kehidupan sosial dalam dua bentuk yakni sekulerisasi obyektif dan sekulerisasi subyektif. Sekulerisasi obyektif bersifat konkrit dan radikal, biasanya ditandai dengan pemisahan urusan/bidang agama-rohaniah dengan urusan/bidang material-jasmaniah. Praktek ini mudah kita temukan dalam sejarah kehidupan masyarakat modern, terutama negara-negara Barat yang mempunyai pengalaman negatif soal hubungan agama (gereja) dengan keilmuan.
Adapun sekulerisasi subyektif bersifat halus, biasanya ditandai dengan perasaan atau keyakinan batin untuk tidak menghubungkan pengalaman pragmatis sehari-hari dengan pengalaman keagamaan. Ia cenderung membebaskan diri dari kontrol ataupun komitmen terhadap nilai-nilai agama. Begitu halusnya sampai-sampai orang yang mempraktekkannya kadang-kadang kurang menyadarinya. Barangkali pernah dalam sanubari kita tertanam keyakinan bahwa saya makan untuk kenyang, bekerja untuk mencari uang, meraih prestasi atas dasar kemampuan dirinya sendiri. Semuanya steril dan campur tangan atau kepentingan Tuhan. Kalau keyakinan kita sampai di situ maka kita telah mengidap gejala sekulerisasi subyektif.
Fenomena sekuleristik ini telah menjadi kecenderungan umum masyarakat modern. James L. Peacock dan A. Thomas Kirsch, penulis Buku The Human Direction adalah sebagian ilmuwan yang berpendapat seperti itu. Menurut keduanya, masa depan manusia adalah sekuler dan transendentalisasi atau proses di mana Tuhan menjadi impersonal.
Jika dilacak, munculnya kecenderungan masyarakat modern ke arah sekuleristik dikondisikan oleh sains dan teknologi. Konstruksi iptek modern yang kurang mengakomodasi dimensi religiusitas bersumber dari paradigma yang diandalkan oleh para ilmuwan modern dalam membangun pengetahuan yang bercorak rasionalistik, positivistik dan pragmatis. Cara berpikir yang lebih mementingkan hal-hal rasional-material dan menafikan hal-hal spiritual metafisik ini secara tidak sadar telah mereduksi dimensi kemanusiaan yang secara fiitrah tidak bisa lepas dari hal-hal mistis spiritualis. Salah satu dampaknya, umat menjadi terperangkap pada jaringan sistem rasionalitas ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang humanis. Jika sudah demikian, manusia modern akan mengalami kekosongan dalam landasan moral dan kurang mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dalam aspek nilai-nilai ilahiyah (transenden).
Pengalaman masyarakat Barat setidak-tidaknya telah memberi pelajaran berharga akan hal ini. Masyarakat Barat yang kini memasuki era post industrial society -dengan meraih kemakmuran material melimpah berkat perangkat teknologi yang serba mekanis dan otomatis- bukannya semakin mendekati kebahagiaan hidup, namun justeru menghadapi berbagai kecemasan hidup dan rendahnya rasa kebermaknaan hidup. Mereka merasa cukup dengan berbagai kemudahan hidup yang dihasilkan iptek modern, sementara itu pemikiran dan paham keagamaan yang bersumber dari ajaran wahyu kian ditinggalkan. Akibatnya, kehidupan keagamaannya meluncur pada Post Christian Era dengan mengembangkan pola hidup sekulerisasi. Mereka berpaling dari “dunia sana” dan hanya memusatkan perhatiannya pada “di sini dan sekarang ini”. Karena mereka memuja kemakmuran material yang disimbolkan dengan penguasaan uang maka agama yang paling dominan dalam kehidupannya diistilahkan dengan the religion of money.
Salah satu upaya untuk mengatasi krisis moralitas yang dihadapi masyarakat modern, sebagaimana saran beberapa ilmuwan, adalah menghidupkan kembali pandangan dan sikap hidup keagamaan. Upaya ini selaras dengan naluri setiap manusia selaku homo religius yang tentu tak dapat meninggalkan unsur-unsur rohaniah/adi kodrati dalam kehidupannya.
Model Keislaman
Umat Islam sebagai salah satu komunitas dunia perlu mengambil pelajaran tragedi kemanusiaan yang dialami masyarakat Barat. Umat Islam secara serius perlu mengantisipasi merasuknya cara-cara hidup masyarakat Barat yang sekuleristik, mengingat mereka kini hidup dalam arus besar globalisasi di mana ekspansi budaya dan pola hidup dari Barat (yang sebagian berparadigma sekulerisme) mengalir deras ke negara kita. Jika kita kurang serius mengantisipasi dampak negatif globalisasi secara tidak langsung akan memberi jalan bagi masuknya pola hidup sekuleristik. Kekhawatiran seperti ini perlu kita miliki, mengingat struktur kebudayaan kita cukup rentan untuk dimasuki oleh pengaruh dari luar.
Tanpa memiliki komitmen dan loyalitas kepada ajaran agama yang kita peluk dengan sendirinya akan memperlemah daya tahan budaya agamis kita dalam menghadapi rembesan nilai dari luar. Apalagi, nilai-nilai asing sekarang ini datang secara berlebihan (over load) dibandingkan masa-masa yang lalu. Nilai-nilai itu umumnya mengalir dari negara yang tengah memegang supremasi iptek seperti Eropa dan Amerika. Nilai-nilai asing yang datang melalui jalur interaksi dengan negara-negara maju itu perlu kita saring karena di dalamnya kadang-kadang bersifat ambivalen. Ada nilai yang bersifat sekuleristik dan bertentangan dengan bangunan nilai yang kita miliki serta ada nilai yang bersifat positif dalam membangun kemajuan.
Dalam mengantisipasi masuknya cara-cara hidup sekuleristik dari luar memerlukan kerja sama di antara seluruh elemen umat beragama di Indonesia. Sesuai dengan komposisi demografis umat Islam yang mayoritas, mau tidak mau mereka dituntut tanggung jawab secara lebih besar pula dalam proses antisipasi ini. Upaya antisipasi ini bisa diawali dengan melakukan koreksi terhadap model keislaman yang kita kembangkan. Untuk itu, ada sebuah pertanyaan besar yang terlebih perlu kita jawab, sudahkah model keislaman yang kita kembangkan sejalan dengan cita¬-cita yang diajarkan oleh Islam?
Kita akui fenomena keberagamaan sebagian pemeluk Islam belum mencerminkan idealitas sebagaimana yang dituntut oleh ajaran Islam. Nilai-nilai Islam belum berfungsi sepenuhnya sebagai sumber nilai yang menjadi tolok ukur dan rujukan dalam menilai baik-buruk sebuah perbuatan. Yang sering terjadi, umat Islam mengeksploitasi ajaran agamanya demi memuluskan kepentingan pribadi maupun atau golongannya sendiri. Islam diidentifikasi dalam sebuah simbol, slogan dan aliran pemahaman keislaman tertentu yang cenderung membelah kehidupan sosial umat Islam dalam retakan-retakan sosial dan cenderung menempatkan pemeluk Islam di luar kelompok atau organisasinya sebagai saingan dan musuh. Jika gejala ini berkembang, sudah pasti makna Islam yang seharusnya menjadi rahmatal lil’alamin dan pemersatu umat menjadi tereduksi.
Bisa dikatakan, umat Islam belum mampu melaksanakan ajaran agamanya secara totalitas (kaffah). Sebagian pemeluk Islam tampaknya masih melaksanakan ajaran agamanya secara parsialis atau sepotong-sepotong sesuai interes-nya masing-masing. Salah satu contohnya dalam masalah pelaksanaan zakat. Kewajiban zakat yang sudah dipenuhi dengan baik baru zakat fitrah. Sementara zakat mal yang semestinya dapat mendongkrak kekuatan ekonomi umat Islam belum mendapatkan perhatian secara seksama.
Ambigiutas dalam keberagamaan ini dalam tinjauan psikologis dikenal dengan istilah schizo¬prenia atau kepribadian terbelah. Gambaran seseorang yang mengidap schizo¬prenia adalah ia bermanis-manis kepada Tuhan ketika di tempat ibadah, namun dia mengumbar hawa nafsunya sendiri ketika di luar tempat ibadah. Ia dapat menjalin komunikasi secara harmonis dengan Tuhan dalam limpahan kenikmatan eskatologis semata-mata, namun ia tidak mampu mengaktualisasikannya dalam keharmonisan di antara sesama manusia. Jadi, konfigurasi hubungan personal dengan Tuhan (habluminallah) tertata rapi tapi konfigurasi hubungan sosial dengan sesama manusia (habluminannas) rapuh. Hal inilah yang perlu dikonstruksi ulang agar kita dapat menciptakan keutuhan dalam menjalankan dimensi-dimensi keislaman. Kalau kita secara simultan mampu memenuhi tuntutan aspek teologis/keimanan, syari’ah/¬peribadatan dan muamalah/pergaulan akan menjadikan keislaman kita paripurna.
Jelasnya, kita perlu memenuhi aspek syari’ah karena aspek syari’ah merupakan perwujudan dan aspek aqidah. Orang yang percaya kepada Allah harus mengimplementasikannya dengan melakukan perintah dan menjauhi larangannya. Perintah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah disebut ‘ibadah, yakni upaya seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jenis ibadah dalam tinjauan Ushul fiqh ada dua macam. Pertama, ‘ibadah qashirah, yaitu ibadah yang nilai kemanfaatannya kembali pada pribadinya sendiri. Kedua, ‘ibadah muta’adiyah yakni ibadah nilai kemanfaatannya untuk kepentingan umum. Berkaitan dengan pembagian jenis ibadah ini, ada kaidah fiqh yang menyatakan bahwa ibadah yang bermanfaat bagi orang lain lebih utama daripada ibadah yang manfaatnya hanya kepada diri sendiri. Namun hal ini tidak dapat diartikan bahwa beribadah muta’addiyah lebih baik dengan meninggalkan ibadah qashirah. Kecuali apabila terjadi dilematis atau ta’arud antara keduanya, maka seorang muslim lebih diutamakan untuk memilih ibadah muta’adiyah sepanjang qashirah yang dihadapinya tidak berupa fardlu ‘ain.
Pada prinsipnya, Islam sangat menekankan keterkaitan atau inter-connectednes satu ajaran dengan ajaran yang lain, yang sebagian tercermin dalam keterkaitan antara puasa dengan zakat, hubungan vertikal dengan hubungan horisontal, iman dengan amal shalih dan shalat dengan solidaritas sosial. Keterkaitan itu kadang-kadang disebutkan secara eksplisit sebagaimana terekam dalam Surat a1-Maa’uun. Intisari Surat ini menggarisbawahi bahwa seseorang yang mengerjakan shalat tetap dikategorikan mendustakan agama kalau ia tidak memiliki kepedulian sosial terhadap kemiskinan.
Dengan kata lain, epistemologi dalam Islam adalah epistemologi relasional yang menekankan hubungan antara satu unsur dengan unsur lain. Keterkaitan ini biasanya disebut logical consequence (konsekuensi logis) dari satu unsur. Rukun Islam mengerjakan shalat, zakat, puasa dan haji merupakan konsekuensi logis dri rukun Islam membaca syahadah. Zakat adalah konsekuensi logis dari puasa, sebagai sebuah bukti adanya kesadaran sosial setelah seseorang merasakan sendiri bagaimana penderitaan akibat lapar dan haus.
Akhirnya, dengan menerapkan ajaran Islam secara benar secara tidak langsung akan menghindarkan pemeluknya dari pola hidup sekuleristik. Jika agama dilaksanakan secara benar diyakini akan memberikan efek psikologis dan sosiologis yang menentramkan bagi kehidupan sosial. Sebagai dampaknya, kegiatan apapun yang kita ikuti baik dalam bidang politik, ekonomi dan sosial akan berjalan lebih bermoral karena dilandasi oleh nilai-nilai etika yang bersumber dari agama.
Dari sini, masa depan Islam tampaknya banyak ditentukan sejauh mana kemampuan dan kemauan para pemeluknya sendiri dalam menerapkan substansi ajaran Islam secara benar dan proporsional. Kita akui, Islam telah berkembang menjadi agama rakyat namun akar dan identitas kultural masyarakat masih banyak yang belum tersentuh oleh dakwah Islam. Oleh karena itu, salah satu agenda yang menjadi tugas keumatan sekarang dan masa mendatang adalah bagaimana mentransformasikan dasar kepercayaan dan bangunan norma sosial umat Islam agar benar-benar selaras dengan nilai-¬nilai Islami.

Tidak ada komentar: