Minggu, 16 Oktober 2011

Buku Pendidikan Karakter

















Rubrik : Tren Buku

Judul : Desain Pendidikan Karakter, Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan
Penulis: Dr. Zubaedi M. Ag M. Pd
Penerbit: Kencana Prenada Media Group
Cetakan : 1, 2011
Tebal : 408 Halaman
ISBN : 978-602-8730-85-3



MEMPERKUAT PENDIDIKAN KARAKTER:
DENGAN POLA KOLABORATIF DAN INTEGRATIF

Oleh:
Endang Kartikowati
(Pengelola Rumah Baca Nabahan Pustaka Bengkulu)

Persoalan karakter menjadi bahan pemikiran sekaligus keprihatinan bersama dikarenakan negara ini telah menderita krisis karakter. Krisis karakter ini telah merambah luas baik pada kalangan anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Di kalangan anak-anak dan remaja ditandai dengan meningkatnya pergaulan seks bebas, tawuran, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, dan penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, perkosaan, perampasan, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana karena tindakan-tindakan tersebut telah menjurus ke arah kriminal. Perilaku orang dewasa juga setali tiga uang, antara lain ditandai senang dengan mudahnya tersulut tawuran, konflik dan kekerasan, praktek korupsi yang merajalela, perselingkuhan dan sebagainya.
Kondisi krisis dan dekadensi moral ini menandakan bahwa seluruh pengetahuan agama dan moral yang pernah dikaji di bangku sekolah ternyata tidak berdampak terhadap perubahan perilaku manusia Indonesia. Bahkan yang terlihat adalah begitu banyaknya manusia Indonesia yang tidak konsisten, lain yang dibicarakan, dan lain pula tindakannya. Menurut sebagian pengamat, krisis moral yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia meliputi: krisis kejujuran, krisis tanggung jawab, tidak berpikir jauh ke depan, krisis disiplin, krisis kebersamaan, krisis keadilan. Banyak orang berpandangan bahwa kondisi demikian diduga berawal dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Demoralisasi terjadi karena proses pembelajaran cenderung mengajarkan pendidikan moral dan budi pekerti sebatas teks dan kurang mempersiapkan siswa untuk menyikapi dan menghadapi kehidupan yang kontradiktif.
Di tengah-tengah pencarian format pendidikan karakter yang ideal untuk anak-anak yang tumbuh dan berkembang pada era globalisasi, hadirnya buku ini akan menambah referensi buku-buku pendidikan karakter yang sudah beredar sebelumnya. Terbitnya buku ini akan bisa menjawab sejumlah permasalahan seperti: makna dan urgensi pendidikan karakter, ruang lingkup pendidikan karakter, serta format pembelajaran pendidikan karakter dengan model pembelajaran kooperatif.

Akar Penyebab
Zubaedi mengungkap bahwa pendidikan telah memberikan kontribusi terhadap terjadi krisis karakter bangsa. Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, bisa jadi salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif semata sedangkan aspek soft skils atau nonakademik sebagai unsur utama pendidikan karakter belum diperhatikan secara optimal bahkan cenderung diabaikan. Saat ini, ada kecenderungan bahwa target-target akademik masih menjadi tujuan utama dari hasil pendidikan, seperti halnya Ujian Nasional (UN), sehingga proses pendidikan karakter masih sulit dilakukan.
Praktik pendidikan yang semestinya memperkuat aspek karakter atau nilai-nilai kebaikan sejauh ini hanya mampu menghasilkan berbagai sikap dan perilaku manusia yang nyata-nyata malah bertolak belakang dengan apa yang diajarkan. Dicontohkan bagaimana pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan agama pada di masa-masa lalu adalah dua jenis mata pelajaran tata nilai, yang ternyata tidak berhasil menanamkan sejumlah nilai moral dan humanisme ke dalam pusat kesadaran siswa. Bahkan merujuk hasil penelitian Afiyah, dkk. (2003), materi yang diajarkan oleh pendidikan agama termasuk di dalamnya bahan ajar akhlak, cenderung terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif), sedangkan pembentukan sikap (afektif) dan pembiasaan (psikomotorik) sangat minim. Pembelajaran pendidikan agama lebih didominasi oleh transfer ilmu pengetahuan agama dan lebih banyak bersifat hafalan tekstual, sehingga kurang menyentuh aspek sosial mengenai ajaran hidup yang toleran dalam bermasyarakat dan berbangsa.
Buku menjelaskan bahwa aspek-aspek yang lain yang ada dalam diri siswa, yaitu aspek afektif dan kebajikan moral kurang mendapatkan perhatian. Koesoema menegaskan bahwa persoalan komitmen dalam mengintegrasikan pendidikan dan pembentukan karakter merupakan titik lemah kebijakan pendidikan nasional.
Atas kondisi demikian, semua orang sepakat mengatasi persoalan kemerosotan dalam dimensi karakter ini. Para pembuat kebijakan, dokter, pemuka agama, pengusaha, pendidik, orang tua, dan masyarakat umum, semua menyuarakan kekhawatiran yang sama. Kita memang harus khawatir. Setiap hari berita-berita berisi tragedi yang mengejutkan dan statistik mengenai anak-anak membuat kita tercengang, khawatir, dan berusaha mencari jawaban atas persoalan tersebut.
Penulis buku mengakui bahwa persoalan karakter atau moral memang tidak sepenuhnya terabaikan oleh lembaga pendidikan. Akan tetapi dengan fakta-fakta seputar kemerosotan karakter pada sekitar kita menunjukan bahwa ada kegagalan pada institusi pendidikan kita dalam hal menumbuhkan manusia Indonesia yang berkarakter atau berakhlak mulia. Hal ini karena apa yang diajarkan di sekolah tentang pengetahuan agama dan pendidikan moral, belum berhasil membentuk manusia yang berkarakter. Padahal apabila kita tilik isi dari pelajaran agama dan moral, semuanya bagus, dan bahkan kita bisa memahami dan menghafal apa maksudnya. Untuk itu, kondisi dan fakta kemerosotan karakter dan moral yang terjadi menegaskan bahwa para guru yang mengajar mata pelajaran apa pun harus memiliki perhatian dan menekankan pentingnya pendidikan karakter pada para siswa.
Selain itu, dalam masa-masa penuh persoalan seperti sekarang ini, orang tua perlu berusaha keras dalam ikut mendidik karakter ataupun moral anak-anaknya agar mereka bisa berpikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan norma-norma moralitas. Pendidikan karakter perlu dimulai dengan penanaman pengetahuan dan kesadaran kepada anak akan bagaimana bertindak sesuai nilai-nilai moralitas, sebab jika anak tidak tahu bagaimana bertindak, perkembangan moral mereka akan terganggu. Lagi pula telah kita ketahui bahwa karakter dapat dilihat dari ”tindakan” bukan hanya dari pemikiran. Dengan meningkatkan kecerdasan moral anak, diharapkan mereka tidak hanya berpikir dengan benar, tetapi juga bertindak benar dan diharapkan juga akan terbangunnya karakter yang kuat. Cara terbaik mengembangkan kemampuan karakter atau moral anak merupakan langkah paling tepat melindungi kehidupan moralnya sekarang dan selamanya.
Pola Kolaboratif dan Integratif
Zubaedi berpendapat bahwa terpuruknya karakter bangsa semestinya mendorong seluruh elemen masyarakat untuk mengambil inisiatif dalam memprioritaskan pembangunan karakter bangsa. Pemerintah memang sudah menjadikan pembangunan karakter bangsa sebagai arus utama pembangunan nasional. Hal ini tercermin pada misi pembangunan nasional yang memosisikan pendidikan karakter sebagai misi pertama dari delapan misi guna mewujudkan visi pembangunan nasional, sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025. Namun lagi-lagi, inisiatif ini rasanya belum bernilai apa-apa jika dihadapkan dengan begitu kompleksitas problem kemerosotan karakter bangsa. Untuk itu, menurut penulis buku, pendidikan karakter perlu dilaksanakan secara kolaboratif dengan melibatkan institusi keluarga (bapak, ibu, kakak, paman, nenek dan kakek); seluruh komponen sekolah baik kepala sekolah, semua guru dan staf, para tokoh agama, tokoh adat, pemimpin politik, dan media massa Pendidikan karakter merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan nilai-nilai luhur dalam lingkungan satuan pendidikan (sekolah), lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat. Nilai-nilai luhur tersebut berasal dari teori-teori pendidikan, psikologi pendidikan, nilai-nilai social budaya, ajaran agama, pancasila dan UUD 1945 serta UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta pengalaman terbaik dan praktik nyata dalam kehidupan sehari-sehari.
Menurut pandangan sang penulis, praktik pendidikan karakter di sekolah bukan hanya menjadi tanggungjawab mata pelajaran Agama atau Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Selama ini ada kesan mata pelajaran yang lain hanya mengajarkan pengetahuan sesuai dengan bidangnya ilmu, teknologi atau seni. Padahal seharusnya proses pembelajaran nilai-nilai karakter diintegrasikan di dalam setiap mata pelajaran atau mengintegrasikan nilai-nilai karakter pada setiap pokok bahasan dari setiap mata pelajaran. Pendidikan karakter pada dasarnya melekat pada setiap mata pelajaran karena setiap mata pelajaran pada dasarnya memiliki nilai-nilai karakter yang harus dilalui dan dicapai siswa. Hanya saja, sebagian besar guru tidak menyadari bahwa ada nilai-nilai yang dapat membentuk karakter siswa. Untuk itu, perlu menumbuhkan kesadaran bagi setiap guru apapun pelajarannya untuk ikut melakukan pendidikan karakter.
Ada banyak cara mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke dalam mata pelajaran, antara lain: mengungkapkan nilai-nilai yang dikandung dalam setiap mata pelajaran, pengintegrasian nilai-nilai karakter secara langsung ke dalam mata pelajaran, menggunakan perumpamaan dan membuat perbandingan dengan kejadian-kejadian serupa dalam hidup para siswa, mengubah hal-hal negatif menjadi nilai positif, mengungkapakan nilai-nilai melalui diskusi dan brainstroming, menggunakan cerita untuk memunculkan nilai-nilai, menceritakan kisah hidup orang-orang besar, menggunakan lagu-lagu dan musik untuk mengintegrasikan nilai-nilai, menggunakkann drama untuk melukiskan kejadian-kejadian yang berisikan nilai-nilai, menggunakan berbagai kegiatan seperti kegiatan amal, kunjungan sosial, field trip atau outboud dan klub-klub kegiatan untuk memunculkan nilai-nilai kemanusiaan.
Untuk pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam semua mata pelajaran membutuhkan kerjasama sinergis-kolaboratif antara semua mata pelajaran dalam mendidik karakter peserta didik. Peran dan fungsi mata pelajaran pendidikan agama dan pendidikan kewarga-negaraan (PKn dalam membangun akhlak atau moral perlu mendapatkan dukungan dan penguatan dari mata pelajaran yang lain seperti pendidikan jasmani (olahraga), IPS, IPA (sains), dan matematika. Atas pertimbangan ini, semua mata pelajaran perlu didesain dengan bermuatan penguatan karakter siswa.
Pengajaran Nilai Kejujuran
Dalam pandangan Zubaedi, bukan bermaksud meremehkan nilai-nilai karakter yang lain, nilai kejujuran dianggap perlu mendapat prioritas dalam pendidikan karakter saat ini mengingat kejujuran sudah semakin menipis, padahal tolok ukur dan fondasi kehidupan bagi seseorang, sebuah keluarga, masyarakat dan negara adalah faktor kejujuran. Mengutip formulasi Stephen Covey dalam buku Speed of Trust tentang Hasil kerja , dia merumuskan bahwa Result (R1) adalah Initiave (I) dikalikan Execution (E) (R1 = I x E), jika komponen ini kemudian ditambah nilai kejujuran maka proses eksekusi atau pelaksanaan semakin cepat dalam hal ini formula menjadi R1 = I x E x T (Trust). Nilai kejujuran merupakan nilai fundamental yang diakui oleh semua orang sebagai tolak ukur kebaikan seseorang dalam kehidupan sehari-harinya, bagaimanapun pintarnya, bagaimanapun berwibawa dan bijaksanannya seseorang jika dia tidak jujur pada akhirnya tidak akan diakui orang sebagai pemimpin yang baik atau bahkan dicap menjadi manusia yang tidak baik. Untuk itu, marilah kita menjadikan nilai kejujuran menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan. Menghargai kebhinekaan adalah sikap positif yang harus dibangun dalam diri semua warga Indonesia. Perbedaan bukan sumber konflik tetapi sebagai bagian kekayaan modal budaya yang seharusnya dapat dikelola sebagai potensi bagi pengembangan karakter bangsa yang berbudaya. Sikap saling menghargai dan menghormati harus dibangun sejak usia dini.

-----------------------

Jumat, 15 Juli 2011

POLA ASIMILILASI ETNIS CINA MUSLIM DENGAN WARGA MUSLIM PRIBUMI DI BENGKULU PASCA REFORMASI

MAKALAH HASIL PENELITIAN


POLA ASIMILILASI ETNIS CINA MUSLIM
DENGAN WARGA MUSLIM PRIBUMI DI BENGKULU
PASCA REFORMASI

A. Latar Belakang
Keturunan asing yang paling kuat kedudukannya dalam masyarakat Indonesia antara lain adalah orang Cina (Suparlan,1989:5). Masyarakat Cina dianggap sebagai imigran karena mereka mulai mendatangi kepulauan Nusantara diperkirakan pada awal abad ke 9 masehi. Etnis Cina hadir ke Indonesia dianggap sebagai pembawa perubahan terutama pada sistem teknologi pertanian dan perdagangan, karena peradaban Cina merupakan peradaban yang tinggi dan salah satu peradaban tertua di dunia. Etnis Cina hidup dan berkembang sebagaimana etnis pribumi lainnya di Nusantara.
Keberadaan orang Cina di Indonesia sudah berlangsung sangat lama dan secara yuridis formal mereka telah menjadi warga negara Indonesia. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa di Kota Bengkulu, kesan eksklusif masih terpola. Dalam kehidupan sosial mereka cenderung hidup berkelompok dan interaksi dengan etnik lain masih sangat terbatas. Hal tersebut ditandai adanya eksklusivitas lokasi pemukiman dan eksklusivitas pada sekolah-sekolah tertentu yang mayoritas muridnya orang Cina. Dalam percakapan sehari-hari masih banyak menggunakan bahasa Cina serta dalam bertetangga masih mempunyai kecenderungan untuk tidak menunjukkan ciri solidaritas. Hal lain adalah mereka masih enggan bekerjasama dalam bidang usaha tertentu dengan kelompok pribumi. Ikatan solidaritas yang dilakukan adalah ikatan solidaritas antara sesama mereka.
Indikasi tersebut menunjukkan bahwa peran orang Cina dalam berbagai bidang kehidupan ekonomi, sosial, dan agama belum dapat memberikan kesan yang berarti dalam peningkatan pembauran dengan penduduk setempat, termasuk pula tingkat solidaritas yang relatif rendah. Seperti yang dikemukakan oleh Suparlan (1989:66) hubungan etnik Cina dengan kelompok etnik pribumi pada umumnya tidak terlalu “dekat” dan tidak telalu “jauh”. Etnik lokal di satu pihak kurang menyenangi golongan etnik Cina lainnya, tetapi di pihak lain dapat bekerjasama bahkan hidup berdampingan.
Dalam penilaian Gungwu (1981: 261-264), Indonesia merupakan contoh sebuah negara yang mempunyai “masalah Cina” yang teramat kompleks. Salah satu masalah tersebut erat kaitannya dengan identitas kultural mereka sebagai golongan etnis non pribumi, terhadap identitas kultural mayoritas penduduk golongan etnis pribumi. Bertolak dari asumsi tersebut jelas bahwa kemungkinan terjadinya konflik antar etnis terutama golongan etnis keturunan Cina amatlah besar.
Secara kuantitatif, etnis Cina merupakan minoritas di tengah kemajemukan etnis yang ada di Indonesia. Pada tahun 1961, Coppel mengemukakan taksirannya bahwa ada sekitar 2,45 juta jiwa etnis Cina atau sekitar 2,5 % dari total penduduk Indonesia. Sementara Wibowo (2000: xv) menakar jumlah etnis Cina di Indonesia sekitar 3 %. Lebih tinggi dari dari kedua taksiran tersebut, Taher menyebutkan angka 4-5 %.
Dari segi tempat tinggal mereka, persentase terbesar (78, 4 %) etnis Cina bertempat tinggal di perkotaan, sedangkan sisanya (21, 6 %) bertempat tinggal di pedesaan. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar etnis Cina berkegiatan ekonomi pada sektor perdagangan dan industri perkotaan.
Sejauh ini keberadaan etnis Cina masih menyimpan kerawanan untuk disalah persepsi, sehingga belum tercipta asimilasi yang benar-benar mengakar di segala lini. Proses asimilasi, interaksi dan komunikasi antara etnis Cina dengan masyarakat pribumi bisa dikatakan masih bersifat kamuflase dan masih elitis.
Realitas tentang belum tuntasnya pembaharuan atau hubungan etnis Cina dalam masyarakat Indonesia dengan jelas terlihat dalam peristiwa kerusuhan 13-14 Mei 1998. Dalam peristiwa terjadi perusakan dan penjarahan terhadap harta milik orang Tionghoa dan kriminalitas terhadap orang Cina.
Peristiwa ini sedikit banyak telah mempengaruhi kehidupan masyarakat Cina. Mereka yang tadinya sudah mulai berbaur dengan masyarakat setempat, akhirnya menjadi ekslusif dan terpisah dari orang pribumi. Pemerintah di era reformasi telah melakukan berbagai langkah untuk menetralisir keadaan agar tidak terjadi stereotipisasi negatif terhadap etnis Cina, termasuk memperbolehkan penggunaan istilah Tionghoa, mengizinkan perayaan Imlek Cap Go Meh dan pentas kesenian Barong Sai, dan lain-lain.
Walaupun diakui semenjak reformasi terutama ketika pemerintahan Gus Dur, kualitas interaksi etnis Cina dengan masyarakat pribumi sudah semakin membaik, namun hal ini bukan berarti sudah tidak ada lagi persoalan menyangkut asimilasi. Dalam kehidupan sosial, etnis Cina tetap mengambil jarak dengan masyarakat pribumi karena mereka beranggapan kelompoknya merupakan orang terpandang, mempunyai banyak uang serta berpendidikan tinggi. Hidup dan kehidupan etnis Cina terpisah dengan orang setempat membuat mereka terasing dan kebiasaan hidup mereka mewah. Perbedaan kelas dan status antara etnis Cina dengan warga pribumi di Bengkulu sering kali membuat kecemburuan sosial. Di tambah kehidupan orang Cina yang berkelompok dan memisahkan diri misalnya di Kelurahan Kampung Cina Bengkulu telah mencerminkan bahwa mereka tidak berasimilisasi dengan warga pribumi. Tempat tinggal yang tidak membaur ini merupakan faktor terjadinya jarak sosial antara etnis Cina dengan etnis pribumi Bengkulu.
Bisa digaris-bawahi bahwa persoalan terhambatnya proses asimilasi kalangan etnis Cina dipengaruhi oleh sejumlah faktor: lokasi, jenis, nama, bahasa, sejarah, "totok" dan "peranakan", lingkungan, Pendidikan, status, sosial ekonomi, dan kepercayaan. Sementara faktor di luar etnis yang menjadi sebab dari permasalahan asimilasi etnis Cina ialah kepentingan, jati diri dan arah perubahan masyarakat.
Faktor renggangnya jarak sosial dan hubungan antar etnis keturunan Cina dan Pribumi menurut Sanjatmiko (1999) adalah: (1) Tidak terjadinya perubahan pola kultur etnis keturunan Cina ke dalam penduduk pribumi, sehingga masih kuatnya in group feeling penduduk etnis keturunan Cina terhadap kulturnya; (2) Anggapan kultur etnis keturunan Cina lebih tinggi dari komuniti pribumi: (3) Prasangka stereotipe negatif terhadap penduduk pribumi yang pemalas, bodoh, tidak bisa menggunakan kesempatan baik dsb. Sebaliknya steorotipe penduduk etnis pribumi terhadap etnis keturunan Cina disebut sebagai golongan yang maunya untung sendiri tanpa melihat halal atau haram; (4) Diskriminasi pribumi terhadap etnis keturunan Cina dalam kesempatan menduduki jajaran aparat desa/pemerintahan; (5) Nilai-nilai dan kekuatan konflik yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan agama dan kesenjangan ekonomi di antara kedua etnis. Berbagai aspek di atas diduga sebagai faktor penyebab terjadinya jarak sosial antara etnis pribumi dan keturunan Cina.
Meskipun berbagai kendala ini masih menghadang, proses asimilasi tetap dianggap sebagai pilihan terbaik untuk menciptakan integrasi etnis Cina dalam masyarakat Indonesia. Asimilasi (pembauran) dianggap sebagai solusi dari kompleksnya problem hubungan antara etnis Cina dengan etnis pribumi. Proses pembauran bisa terjadi dengan melalui akulturasi maupun asimilasi secara kultural, yaitu melalui amalgamasi biologis (perkawinan campuran). Namun, tidak semua hal tersebut dapat dilaksanakan karena tergantung pada kesadaran dari masing-masing pribadi. Anggapan mereka, jika mereka melakukan amalgamasi, status sosial mereka akan jatuh menjadi warga kelas dua. Mereka menganggap orang Cina adalah warga kelas satu. Menurut Hidayat (1993:6) mereka menganggap dirinya berada di atas kelompok etnik lainnya.
Asimilasi yang sekarang lebih di kenal dengan istilah pembauran sampai saat ini masih di anggap suatu cara yang cukup baik untuk menyatukan antara mayoritas dan minoritas keturunan Tionghoa. Upaya pemerintah dalam rangka mempercepat proses pembauran dilakukan dengan berbagai jalan antara lain membentuk Bakom-PKB (Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa) yaitu, suatu badan kemasyarakatan yang bertujuan memperlancar dan mempercepat peningkatan persatuan serta pembauran antara warga Negara Indonesia asli di segala bidang kehidupan. Usaha yang lain adalah mengizinkan pendirian PITI, yaitu semacam panitia kerja, bukan ormas, akan tetapi untuk membantu warga keturunan Tionghoa masuk Islam dan menyalurkannya ke pangkuan rakyat sesama Muslimin.
Akan tetapi, masalah pembauran yang selama ini di jalankan oleh pemerintah masih menonjolkan segi politisnya belum disertai upaya-upaya yang sistematis dalam membangun asimilasi. Sehingga apa yang sering nampak misalnya pembatasan atau pelarangan membesar-besarkan masalah perbedaan SARA, (Robert E. Park, 1957: 403). Padahal masalah ini tetap bergulir dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pangkal dari permasalahan SARA tetap dpelihara misalnya dengan mendikhotomikan masyarakat umum (pribumi asli) maupun masyarakat non pribumi seperti Etnis Cina.
Pembauran yang paling tepat adalah melalui agama kelompok mayoritas, yaitu Islam. Jika peranakan Cina berbaur ke dalam agama etnis mayoritas maka pembauran akan berjalan cepat. Dengan memeluk Islam, peranakan Cina akan dapat diterima dan disambut dengan hangat karena dalam ajaran Islam ditekankan bahwa mukmin satu dengan lainnya bersaudara meskipun berbeda suku bangsa dan etnis. Perbedaan di antara mereka semata-mata hanya untuk saling mengenal (ta'aruf) saja.
Dari segi agama agaknya masih perlu menjadi pertimbangan untuk menganggapnya sebagai faktor pendukung, mengingat kesadaran agama di kalangan Cina tidak dapat dikatakan baik. Apalagi dihubungkan dengan agama masyarakat setempat yang mayoritas Islam. Namun demikian, terhadap orang Cina yang telah menganut agama Islam dan menunaikan kewajiban sebagaimana mestinya, proses asimilasi benar-benar telah tercipta. Dengan demikian, berarti agama dapat dipastikan sebagai faktor pendukung bagi proses pembauran. Berdasarkan kenyataan bahwa banyak orang Cina yang telah menganut agama Islam dan dapat hidup berdampingan secara intim dengan masyarakat setempat, maka pendapat yang mengatakan bahwa agama Islam khususnya merupakan kesulitan utama dalam proses asimilasi di Indonesia (Bengkulu) tidaklah benar.
Termotivasi untuk mendalami permasalahan ini maka penelitian ini difokuskan pada pengamatan terhadap pola asimiliasi etnik Cina muslim dengan warga pribumi muslim di Bengkulu

B. Permasalahan Penelitian
Penelitian ini secara umum mempertanyakan bagaimanakah pola asimilasi etnis Cina Muslim dengan warga pribumi di Bengkulu? Aspek¬-aspek khusus yang menarik untuk diungkap dalam penelitian ini antara lain adalah:
1. Bagaimanakah sikap dan pandangan etnis Cina Muslim terhadap proses asimilasi (pembauran) dengan etnis pribumi di Kota Bengkulu?
2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi pendorong terhadap proses asimilasi etnis Cina Muslim dengan warga pribumi?
3. Bagaimanakah bentuk-bentuk asimilasi yang telah dilakukan oleh etnis Cina Muslim terhadap warga pribumi di Bengkulu?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tiga tujuan:
1. Mengungkap sikap dan pandangan etnis Cina Muslim terhadap pentingnya proses asimilasi (pembauran) dengan etnis pribumi di Kota Bengkulu.
2. Mendeskripsikan faktor-faktor yang mendorong terhadap proses asimilasi dengan warga pribumi
3. Mengeksplorasi bentuk-bentuk asimilasi yang telah dilakukan oleh etnis Cina Muslim terhadap warga pribumi di Bengkulu

E. Kerangka Teori
Menurut Lan (1998) pencarian jati diri orang Cina di Indonesia dihadapkan pada beberapa pilihan – menjadi Indonesia, tetap Cina atau mengadopsi identitas lain. Namun demikian nampaknya pilihan-pilihan tidak selalu menempatkan orang Cina pada keadaan yang mudah. Pilihan dengan identitas Indonesia telah difasilitasi pemerintah Orde Baru yang memberlakukan asimilasi inkorporasi (total) bagi orang Cina untuk menghilangkan identitas Cina-nya dan menjadi Indonesia. Namun demikian motivasi pemberlakuan asimilasi inkorporasi nampaknya lebih bernuansa ‘hukuman’ karena sangkaan keterlibatan orang Cina dalam pemberontakan PKI tahun 1965. Pada kenyataannya kebijakan tersebut justru memberikan kontribusi terhadap berbagai kerawanan dan gejolak sosial yang memprihatinkan seperti prasangka, kerusuhan-kekerasan massa dengan sasaran etnis Cina. Kebijakan tersebut juga menyisakan trauma bagi golongan minoritas ini , selain akibat berbagai tindakan kekerasan yang dialaminya, juga akibat perlakuan diskriminatif yang membelenggu gerak hidup masyarakat Cina ini (Susetyo, 1999) Asimilasi inkorporasi (total) itu sendiri pada kenyaannya telah gagal, sebagaimana asimilasi Melting Pot yang pernah diberlakukan di Amerika. Pada kenyataannya tidaklah mungkin untuk meniadakan akar budaya suatu golongan masyarakat begitu saja.
Memilih mempertahankan identitas sebagai orang Cina juga bukan persoalan yang mudah, karena ke-Cina-an lekat dengan berbagai citra yang kurang menguntungkan di mata etnis pribumi maupun kalangan birokrasi pemerintahan. Hal tersebut dapat dilihat dari berkembangnya stereotip, prasangka dan diskriminasi yang semakin mempertegas citra buruk etnis Cina di mata etnis Indonesia lainnya. Sementara di kalangan aparat, birokrasi pemerintahan, sampai sekarang mereka nampaknya masih menggunakan paradigma lama dengan perlakuan diskriminatif terhadap etnis Cina misalnya dalam hal status kependudukan ataupun status kewarganegaraan.
Di kalangan internal masyarakat Cina sendiri juga sedang terjadi pergeseran dalam memaknai arti identitas Cina itu sendiri dalam format yang berubah. Menurut Lan (1998) pergeseran tersebut dari ke-Cina-an yang tradisionil dan berorientasi etnis dan negeri leluhur menjadi ke-Cina-an yang modern dan berorientasi nasional dan lokal (dalam hal ini Indonesia). Pergeseran ini nampaknya juga terkait dengan upaya meninggalkan trauma masa lalu, dimana identitas Cina yang berorientasi pada budaya negeri leluhur tidak jarang terjebak pada persoalan-persoalan yang bernuansa politik, misalnya ketika hubungan antara Indonesia dengan RRC memburuk.
Keberadaan etnis Cina sebagai etnis minoritas juga sering kurang menguntungkan dalam konteks relasi minoritas – mayoritas. Etnis minoritas selalu menjadi sasaran prasangka dan diskriminasi dari kalangan mayoritas. Beberapa kali etnis Cina menjadi sasaran pengganti (displacement), kambing hitam bagi rakyat yang frustrasi di era pemerintahan Orde Baru yang represif dalam bentuk kerusuhan anti Cina yang sempat marak. Kedudukan sebagai minoritas bagaimanapun selalu rawan, baik itu dalam posisi sebagai minoritas yang lemah maupun minoritas yang kuat.
Jika dilihat dari format negara Indonesia yang indigeneus nation (negara suku) maka sudah selayaknya format yang pas adalah menempatkan etnis Cina sama kedudukannya dengan suku-suku lainnya (Suryadinata, 1999). Di jaman Orde Lama, Bung Karno pernah memunculkan ide bahwa orang Cina adalah salah satu suku di Indonesia yang setara dengan suku Jawa, Sunda, Minang, Batak dan sebagainya. Dengan demikian orang Cina telah menjadi orang Indonesia sejati tanpa asimilasi total. Namun akibat meletusnya pemberontakan G30S PKI ide tersebut kandas untuk diwujudkan ( Suryadinata, 1993). Bahkan di era Orde Baru orang Cina harus melakukan asimilasi total dengan meleburkan identitas etnisnya ke dalam identitas etnis Indonesia (Susetyo, 2002). Selama Orde Baru berjaya dalam 3 dekade lebih, selama itu pula etnis Cina banyak mengalami diskriminasi. n.
Proses pembauran bisa cepat terjadi dengan melalui akulturasi maupun asimilasi secara kultural, yaitu melalui amalgamasi biologis (perkawinan campuran) dan konversi ke agama lokal. Namun, tidak semua hal tersebut dapat dilaksanakan karena tergantung pada kesadaran dari masing-masing pribadi. Anggapan mereka, jika mereka melakukan amalgamasi dan konversi agama (agama mayoritas di Bengkulu yaitu Islam), status sosial mereka akan jatuh menjadi warga kelas dua. Mereka menganggap orang Cina adalah warga kelas satu. Menurut Hidayat (1993:6) mereka menganggap dirinya berada di atas kelompok etnik lainnya. Kalaupun mereka melakukan konversi agama, lebih banyak beralih ke agama Kristen atau Katolik. Menurut Ali (1999:2) agama ini menjadi mayoritas bangsa Eropa yang identik dengan kemajuan atau “modern” sehingga status mereka tidak akan jatuh. Di sisi lain, agama Katholik dan Kristen masih mentolerir pemujaan terhadap arwah leluhur dan kebiasaan sehari-hari mereka tidak hilang. Kebiasaan yang dimaksud adalah berjudi, pantangan dalam makanan dan minuman tertentu. Agama Budha merupakan ajaran yang identik dengan ajaran Konghucu.
Berbeda dengan konversi ke agama Islam. Menurut Clammer (dalam Ali, 1999:1) perpindahan ke agama Islam tidak hanya sekedar menyatakan perpindahan kepercayaan agama, tetapi mencakup suatu perubahan identitas budaya. Di samping itu, pandangan etnik Cina terhadap Islam masih bersifat fenomenologis, yaitu sebuah ajaran yang bersifat kasat mata yang dipraktikkan oleh orang-orang Islam yang terkait dengan pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari melalui kontak langsung sehingga menimbulkan kesan yang negatif terhadap Islam. Jika terdapat keluarga atau warga mereka yang melakukan konversi agama, mereka menyayangkan bahkan berusaha menghalanginya.
Secara sosiologis, pembauran menurut ogburn dan Nimkoff adalah : “The proces where by individualis or groups once dissimilar become similar. That is, become idenitified in their interest and out look” (suatu proses dimana individu atau kelompok yang tidak sama menjadi sama, yaitu menjadi sama dalam perhatian dan pandangannya). Jadi, pembauran merupakan suatu proses sosial dalam taraf kelanjutan yang di tandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindakan, sikap dan proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan bersama.
Asimilasi setidak-tidaknya dilaksanakan dalam lima kehidupan sebagai berikut, politik, ekonomi, sosial, budaya dan kekeluargaan (pernikahan). Pelaksanaan pembauran di segala bidang kehidupan secara serentak itu pada hakikatnya tetap di titikberatkan pada assimilasi sosial (Max lerner 1957 : 150).

F. Metodologi Penelitian
Peneliti dalam studi ini menggunakan pendekatan kualitatitf untuk mengungkap proses asimilasi etnis Cina muslim dengan warga pribumi di Bengkulu. Sesuai dengan kerangka penelitian kualitatif, peneliti memahami peristiwa dalam kaitannya dengan orang dalam situasi tertentu secara wajar, langsung apa adanya, tanpa dipengaruhi unsur-unsur dari lingkungan (Lexy Moeloeng, 1995: 23). Analisis dalam peneletian kualitatif menggunakan cara induktif dengan mengesampingkan hipotesis awal, namun mencari pola, bentuk dan tema-tema dalam mengungkapkan data secara sistematis. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dapat ditemukan data yang tidak teramati dan terukur secara kuantitatif seperti nilai, sikap mental, kebiasaan, keyakinan dan budaya yang dianut seseorang atau kelompok dalam lingkungan tertentu. Data-data tersebut dikumpulkan peneliti dengan pengamatan lapangan, wawancara mendalam dan penelitian dokumen.
G. Hasil Penelitian
(1) Sejarah Cina Muslim Di Bengkulu
Agama Islam merupakan agama yang banyak dianut oleh Masyarakat dunia, termasuk orang Cina. Islam bagi masyarakat Cina merupakan agama yang tidak asing lagi bagi mereka. Agama Islam datang ke Tiongkok diperkirakan pada awal lahirnya Islam. Dalam ajaran Islam ada suatu konsep ideologic adalah Tuntutlah ilmu Walau ke Negeri Cina. Menurut catatan sejarah kuno, pada awal abad pertama Masehi di negeri Tiongkok telah dicetak buku yang dibuat dari kulit domba. Anjuran tersebut menunjukkan selain masyarakat Cina yang terkenal dengan ilmu dan teknologi yang tinggi sekaligus peradabannya yang termasyhur. Di camping itu hubungan antarperadaban Timur Tengah dan Asia tidak begitu jauh sehingga menjadikan agama Islam lebih cepat dikenal di negara Tiongkok.
Sebagian besar sarjana berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Tiongkok pada pertengahan abad ke-7. Peristiwa penting tersebut terjadi pada masa Khalifah Usman bin Affan (577-656) mengirim utusannya yang pertama ke Tiongkok pada tanggal 25 Agustus tahun 651 M (2 Muharram 31 H). Ketika menghadap Kaisar Yong Hui dari Dinasti Tang, utusan dari Arab itu memperkenalkan keadaan negerinya serta agama Islam. Sejak saat itulah mulai tersebar agama Islam di Tiongkok (Yuanzhi, 2000:47).
Para pendakwah menyiarkan Islam waktu itu melalui jalur sutra yaitu perjalanan laut dan darat. Hubungan Islam dengan bangsa Tiongkok dimulai pada awal lahirnya Islam. Akan tetapi setelah Islam berkembang dengan pesat melalui ilmu pengetahuan dan peradaban, agama Islam semakin berkembang di Tiongkok terutama pada abad ke-13 banyak prang Islam di Asia Tengah dan Asia Barat yang dipimpin oleh Jenghis Khan berinteraksi dengan peradaban Tiongkok (Yuanzhi, 2000:48). Setelah abad ke-15, hubungan Islam dengan bangsa Cina semakin nyata terutama melalui perdagangan. Di samping para musafir muslim yang datang ke Tiongkok menikah dengan wanita setempat sehingga keturunannya menganut agama Islam.
Demikian juga pendakwah yang terkenal dari Tiongkok, Cheng Ho, sering mengadakan perjalanan ke seluruh pelosok Nusantara. Bahkan Cheng Ho di Indonesia merupakan tokoh Islam yang sangat berjasa bagi perkembangan Islam abad ke-15. Islam di negara Tiongkok merupakan agama modern yang datang dari dunia luar dari ajaran Kong Hu Cu. Akan tetapi agama Islam tidak terjadi pertentangan antara masyarakat pada masa itu.
Di Kota Quanzhou di provinsi Fujian, terkenal sebagai pelabuhan perdagangan dan pusat penyebaran agama Islam di Tiongkok selatan sejak Dinasti Tang (619-907). Di kota tersebut banyak terdapat mesjid tertua di Tiongkok dan perkuburan para pendahulu agama Islam. Pada tanggal 31 Mei tahun 1417 (tanggal 14 rabiul akhir tahun 820 Hijriah), Cheng Ho sebelum mengadakan perjalanan yang ke-5 memerlukan datang ke Quanzhou untuk berziarah di perkuburan para pendahulu Islam di Bukit Ling, Quanzhou (Yuanzhi, 2000:36).
Di Indonesia, Cheng Ho merupakan tokoh etnis Cina yang sangat terkenal dan merupakan pendakwah sekaligus diplomat yang sangat berjasa terhadap Islam. Melalui Cheng Ho pemerintahan Tiongkok mengikat hubungan dilomatik sehingga Dinasti Tiongkok menyerahkan lonceng cakra Donya kepada Raja Pasai Bengkulu. Disamping itu Raja Pasai mengirimkan utsanya untuk bekerjasama dengan Raja Tiongkok, sehingga hubungan antarbangsa tersebut telah bejalan pada abad ke-12 dan ke-13.
Di samping itu di Indonesia banyak etnis Cina beragama Islam yang berperan dalam pengembangan dakwah seperti H. Karim Oei (1905-1988 (Jahja, 2002, 21). Karim Oei merupakan pendakwah yang terkenal dan mempunyai hubungan baik dan dekat dengan Presiden Soekarno. Di samping itu seorang etnis Tionghoa yang sangat berperan dalam mencerdaskan bangsa adalah H. Masagung (1927-1996) (Jahja 2002: 229). H Masagung aktif juga dalam pengembangan Islam terutama dalam penerbitan dan percetakan.
Ekspansi perdagangan Cina di Asia Tenggara dimulai pada abad ke-15, diketahui oleh Cheng Ho. Setelah itu banyak saudagar Cina yang merantau ke nusantara. Kebanyakan etnis Tionghoa pada abad ke-16 tinggal di Palembang. Setelah itu banyak etnis Cina tersebar ke seluruh kepulauan di Asia Tenggara. Kedatangan Etnis Cina ke Nusantara semula semata-mata mencari mata pencaharian atau berdagang. Misi dagang yang dipraktikkan ribuan tahun yang lalu menjadi peradaban yang diwariskan kepada generasi selanjutnya sampai saat ini. Oleh karena itu budaya dan motivasi bisnis di kalangan etnis Cina masih menjadi perhatian para pebisnis di dunia. Banyak etnis Cina Perantauan yang sangat berhasil dalam berbisnis sehingga para pebisnis dunia khawatir suatu saat etnis Cina menguasai bisnis dunia.
Awal kedatangan Muslim Tionghoa di Nusantara tidak diketahui secara tepat waktunya seperti juga awal kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara ini, kecuali dari riwayat dan bukti sejarah berupa peninggalan benda-benda arkeologis dan antropologis yang berhubungan dengan kebudayaan Cina yang ditemukan. Hal ini membuktikan bahwa hubungan dagang antara negeri Cina dengan Nusantara sudah terjadi sebelum masehi.
Sebagai agama, Islam masuk dan berkembang di negeri Cina, melalui jalur perdagangan. Begitu pula Islam masuk ke Nusantara. Kebanyakan sarjana berpendapat bahwa peristiwa masuknya agama Islam ke Cina, terjadi pada pertengahan abad VII. Saat itu kekhalifahan Islam yang berada di bawah kepemimpinan Utsman bin Affan (557-656M) telah mengirim utusannya yang pertama ke Cina, pada tahun 651 M. Ketika menghadap kaisar Yong Hui dari Dinasti Tang, utusan Khalifah tersebut memperkenalkan keadaan negerinya beserta Islam. Sejak itu mulai tersebarlah Islam di Cina (http://www.indocina.net/blog)
Islam masuk ke Cina melalui daratan dan lautan. Perjalanan darat dari tanah Arab sampai kebagian barat laut Cina dengan melalui Persia dan Afghanistan. Jalan ini terkenal dengan nama jalur sutra. Sedangkan perjalanan laut melalui Teluk Persia dan Laut Arab sampai ke pelabuhan-pelabuhan Cina seperti Guangzhou, Quanzhou, Hangzhou, dan Yangshou dengan melalui Teluk Benggala, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.
Keturunan asing yang paling kuat kedudukannya dalam masyarakat Indonesia antara lain adalah orang Cina (Suparlan,1989:5). Telah menjadi ciri khas bahwa hampir di semua tempat di Indonesia terdapat WNI keturunan Cina yang telah bermukim secara turun temurun. Soemardjan (1988:176), menyatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari mereka kebanyakan masih tinggal dan bermukim di daerahdaerah tertentu dengan mengelompok, sehingga kurang atau tidak terlibat secara aktif dalam kemasyarakatan, terutama dalam melakukan pembangunan di lingkungan tempat tinggalnya.
Husodo (1985:38), menyatakan bahwa tempat tinggal golongan Cina di banyak tempat, selalu bergerombol dalam suatu tempat tersendiri yang disebut “pecinan” (Cina Town) dan memberikan kesan eksklusif. Keberadaan orang Cina di Indonesia sudah berlangsung sangat lama dan secara yuridis formal mereka telah menjadi warga negara Indonesia. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa di Kota Bengkulu, kesan eksklusif masih terpola. Dalam kehidupan sosial mereka cenderung hidup berkelompok dan interaksi dengan etnik lain masih sangat terbatas. Hal tersebut ditandai adanya eksklusivitas lokasi pemukiman dan eksklusivitas pada sekolah-sekolah tertentu yang mayoritas muridnya orang Cina.
Menurut Clammer (dalam Ali, 1999:1) perpindahan ke agama Islam tidak hanya sekedar menyatakan perpindahan kepercayaan agama, tetapi mencakup suatu perubahan identitas budaya. Di samping itu, pandangan etnik Cina terhadap Islam masih bersifat fenomenologis, yaitu sebuah ajaran yang bersifat kasat mata yang dipraktikkan oleh orang-orang Islam yang terkait dengan pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari melalui kontak langsung sehingga menimbulkan kesan yang negatif terhadap Islam. Jika terdapat keluarga atau warga mereka yang melakukan konversi agama, mereka menyayangkan bahkan berusaha menghalanginya.
Kendati demikian, kecenderungan melakukan konversi ke agama Islam masih terdapat di kalangan orang Cina. Demikian pula halnya di Kota Bengkulu, kecenderungan perubahan pada perilaku religius untuk memeluk agama Islam relative banyak. Keadaan ini mendapat tanggapan yang sangat positif dari etnik lain khususnya yang beragama Islam.Diungkap oleh Rabeendran (dalam Dollah, 1986:23) bahwa di Malaysia kelompok imigran yang beragama Islam lebih mudah berasimilasi dibanding dengan kelompok imigran yang tidak beragama Islam. Contohnya, orang Jawa, orang Arab, dan orang India Muslim (Mamak), imigran yang tidak beragama Islam ialah Cina Baba (peranakan), Portugis, dan Hindu Perananakan.
Sebuah penelitian yang mengambil fokus di Kampung Mata Ayer Malaysia diungkap oleh Dollah (1986: 86), bahwa jumlah orang Cina yang beragama Islam di kampung Mata Ayer tidak banyak. Mereka yang memeluk Islam biasanya pindah ke tempat lain. Dengan kata lain setelah mereka memeluk Islam, mereka memutuskan hubungan dengan keluarga asal yang bukan Islam. Istilah etnik Cina muslim dan nonmuslim digunakan oleh penulis berdasarkan pola interaksi yang dilakukannya dengan etnik lain yang mayoritas beragama Islam di Kota Bengkulu. Etnik Cina yang beragama Islam disebut etnik Cina muslim, dan istilah etnik Cina nonmuslim digunakan untuk membedakan tingkat solidaritas yang terjadi dengan etnik Cina yang bergama Islam (etnik Cina muslim).
Secara garis besar, etnik Cina di Kota Bengkulu terdiri dari dua etnik yaitu Hakka atau Khek dan Tio Ciu yang rata-rata mempunyai tingkat perkenomian yang cukup tinggi. Mereka terdiri dari tiga golongan pedagang. Pertama, golongan pengusaha besar yaitu importir-importir, pemilik industri pertambangan, industri perkebunan, pemilik pasar swalayan dan lain-lain dan mereka ini biasa dikenal dengan istilah “cukong”. Kedua, golongan pedagang menengah, yang terdiri dari pemilik ruko-ruko yang berada di kawasan pusat perdagangan, dan berperan sebagai distributor. Ketiga, golongan pedagang kecil, yang umumnya pemilik toko-toko kecil yang tersebar di pemukiman penduduk sebagai pengecer. Golongan ini jumlahnya relatif kecil (Observasi dan wawancara, 2002).
Orang Cina di Kampung Cina dan daerah-daerah lainnya di Kota Bengkulu saat ini jumlahnya tidak begitu banyak. Berdasarkan data BPS, penduduk Kota Bengkulu sebesar 237.202 jiwa, sedangkan etnik Cina berkisar 14.187 jiwa atau 0,06 persen. Dari jumlah tersebut etnik Cina yang beragama Islam hanya sekitar seribu orang atau 1,2 persen. Keadaan ini menunjukkan bahwa etnik Cina muslim berjumlah relatif kecil. Namun demikian, pembauran yang terjadi antara etnik Cina muslim dengan etnik lain muslim memberikan kesan bahwa mereka relatif dapat diterima dengan penuh keakraban dan persaudaraan, frekuensi interaksi sosial mengalami peningkatan. Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan, apakah setelah berbeda agama, tingkat solidaritas antara etnik Cina muslim dengan etnik Cina non-muslim masih tinggi.

(2) Sikap dan Pandangan Etnis Cina Muslim terhadap Proses Asimilasi
Dari para responden yang berhasil ditemui peneliti terungkap bahwa asimilisasi (pembauran) merupakan sebuah langkah yang sangat positif untuk membangun kerukunan sosial. Salah seorang responden, Cuk Wan (Ali Dharmawan) menegaskan dirinya perlu berasimilasi dan berinteraksi dengan masyarakat pribumi karena sama-sama sebagai warga negara Indonesia. Cina asal Palembang ini yang mengaku masuk Islam sejak tahun 1980 ini sudah biasa berbaur dengan warga lokal yang beragama Islam dalam kegiatan sosial, kerja bhakti/gotong royong (Wawancara, 21 Oktober 2010).
Berdasarkan penelusuran peneliti terungkap warga Cina Muslim Bengkulu menekuni profesi sebagai pedagang. Sebut saja salah satunya H. Ujang Cik (A Fong), 45 Tahun. Saudara-saudaranya yang lain, Antonie, Ion, Asri dan Asni juga mengikuti jejaknya memeluk agama Islam. H. Ujang Cik mengaku memeluk agama Islam sejak umur 17 Tahun. Dia sejauh ini telah berasimilasi dengan para pedagang dari Padang di pasar Minggu melalui kegiatan arisan, pengajian, shalat berjamah, peringatan hari besar Islam seperti Isra' mi'raj, halal-bihalal, tabligh muslibah dan lain-lain (Wawancara dengan H. Ujang Cik, 28 Maret 2010).
Sikap untuk berasimilasi lebih positif datang dari etnis Cina yang beragama Islam. Mereka mendukung upaya-upaya asimilasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah. Misalnya, program pemerintah seperti penyuluhan tentang P4. Pada penataran P4 dahulu, etnis Cina muslim mau mengikutinya. Etnis Cina Muslim bersedia datang ke penyuluhan maupun penataran. Hal ini berbeda dengan etnis Cina non-muslim yang sering kali enggan mengikuti program pemerintah. Bahkan ada yang melecehkan adalah mereka pergi ke kantor pemerintah hanya memakai celana pendek dan sandal jepit. Di samping itu pada saat mengikuti acara-acara misalnya, mereka enggan sekali mengurangi berbicara bahasa Mandarin di depan umum. Bahkan mereka mengatakan, orang Bengkulu boleh menggunakan bahasa Bengkulu, mengapa kami etnis Cina tidak boleh. Dengan kata lain, etnis Cina enggan berasimilasi melalui bahasa kecuali jika mempunyai hubungan langsung dengan orang Bengkulu. Oleh karena itu etnis Cina di Bengkulu terkesan sangat mempertahankan budaya leluhumya sekaligus terkesan adanya keterpaksaan dan tidak mau berasimilasi dengan masyarakat pribumi sekaligus sangat susah diminta mengikuti penataran dan penyuluhan yang dilancarkan oleh pemerintah. Sebaliknya, cina muslim di Bengkulu yang peneliti temui bisa berbahasa Indonesia dengan lancar dan sudah bersikap dan berkepribadian seperti orang Indonesia. Mereka sudah membiasakan dalam kesehariannya dengan berbahasa Bengkulu dan Bahasa Indonesia.
Asimilasi yang terjadi dengan sendiri terutama melalui bahasa sangat berkesan bagi pribadi etnis Cina muslim yang biasa berbahasa Bengkulu. Fenomena ini jelas berbeda dengan kebiasaan orang-orang Cina pada umumnya yang sangat loyal terhadap bahasa dan teman-temannya di kalangan masyarakat. Bagi etnis Cina Muslim umumnya agak longgar dengan kebudayaan leluhurnya, bersikap inklusif (terbuka) dan mau membaur dengan masyarakat pribumi. Etnis Cina muslim yang dapat berbahasa Bengkulu terlihat perilakunya seperti orang Bengkulu sekaligus tidak membatasi diri dalam bergaul dengan siapa saja. Sedangkan bagi etnis Cina yang enggan berbicara bahasa Bengkulu maupun bahasa Indonesia, umumnya tinggal di komunitas Cina di Bengkulu.
Etnis Cina muslim yang tinggal di tengah-tengah perkampungan dari komunitas etnis Bengkulu tentu saja sering berinteraksi dengan etnis Bengkulu. Kebanyakan dari mereka dapat berbahasa Bengkulu. Oleh karena itu sikapnya pun sangat bersahabat terhadap orang Bengkulu. jika etnis Cina yang bersangkutan sering bergaul dan berteman dengan etnis Bengkulu, maka jika diajak berkomunikasi akan lebih cepat akrab. Akan tetapi sebaliknya, jika ada etnis Cina yang sangat jarang berkomunikasi dengan orang Bengkulu, maka mereka masih sangat curiga terhadap etnis di luar etnisnya sendiri. Fenomena tersebut dapat dilihat dari pengamatan bahwa etnis Cina yang ekslusif selain sulit menyebutkan identitasnya sekaligus mereka sangat lama terbuka terhadap etnis lain. Dengan kata lain, etnis Cina muslim yang secara kebetulan sering berinteraksi dengan etnis Bengkulu lebih cepat akrab dan tidak menaruh curiga terhadap etnis lain. Sedangkan Etnis Cina yang tinggal di Bengkulu namun dalam setiap harinya hanya berkomunikasi dengan etnisnya sendiri, dan bagi kaum laki-lakinya minum kopi pun di warung kopi milik orang Cina maka mereka akan sulit berasimilasi.

(3) Faktor-Faktor Pendorong Asimilasi Etnis Cina Muslim Bengkulu
Proses pembauran, interaksi dan solidaritas sosial etnik Cina muslim dengan warga pribumi di Kota Bengkulu dipengaruhi oleh faktor keluarga dan faktor agama sehingga membentuk ikatan solidaritas yang kuat di antara mereka. Pertama, peranan keluarga sangat berpengaruh dalam pembentukan pribadi etnik Cina muslim. Mereka mempunyai kepekaan sosial terhadap lingkungan sekitarnya, khususnya terhadap keluarga dan para tetangga sehingga membentuk solidaritas sosial yang kuat. Khusus Cina muslim laki-laki, setelah memeluk Islam ada perubahan nama. Namun, sebagian masih mencantumkan nama marga/klan. Hal tersebut disebabkan tanggung jawabnya sebagai keturunan laki-laki yang meneruskan tanggung-jawabnya terhadap kelangsungan garis keturunan sebagai pewaris, dan mereka masih berhak mendapatkan harta warisan dari orang tuanya, tentunya sesuai dengan kebijaksanaan dari orang tua tersebut. Demikian pula dengan penggunaan nama marga pada anakanaknya.
Namun demikian, penggunaan nama marga tersebut tidak berpengaruh pada pembagian harta warisan, karena pembagian harta warisan sudah menggunakan ajaran Islam. Hubungan keterikatan dengan masyarakat Cina masih sangat dekat, baik itu dengan pihak keluarga maupun dengan orang Cina lainnya, karena mereka merasa masih sebagai orang Cina. Di satu sisi orang Cina muslim masih terikat oleh tradisi dan ikatan kekerabatannya, namun di sisi lain pola sikapnya disesuaikan dengan ajaran Islam dan mereka membina pergaulan dengan masyarakat muslim.
Kedua, agama berperan untuk memperbaiki akhlak manusia. Berdasarkan observasi dan wawancara selama penelitian lapangan, peran agama dalam keluarga etnik Cina merupakan unsur utama karena agama menurutnya mengandung nilai-nilai universal yang berisi pendidikan dan pembinaan pembentukan moral dalam keluarga. Rumah tangga juga dijadikan oleh etnik Cina sebagai wadah aktivitas upacara-upacara religi yang bersifat tradisional, yaitu pemujaan terhadap leluhur bagi anggota keluarga maupun bagi keluarga yang lebih besar dalam satu garis keturunan/shiang.
Pola kepercayaan orang-orang Cina pada umumnya dipengaruhi oleh tiga sistem kepercayaan, yaitu Budha, Taoisme, dan Konfusianisme. Motivasi untuk beragama Islam sebagian besar bukan karena faktor keluarga, tetapi karena faktor pergaulan di lingkungan tempat tinggal. Artinya, keberagamaan dan keyakinan terhadap Islam merupakan bentuk kesadaran kehidupan religiusnya yang sudah melalui proses panjang, sehingga bentuk penyadarannya adalah implementasi dari sebuah keyakinan akan kebenaran agama. Pada umumnya etnik Cina untuk beralih ke agama Islam sangat sulit, karena menyangkut perubahan identitas budaya. Sebagaimana studi yang dilakukan oleh Clammer tentang etnik Cina Baba di Malaka (Afif,1999:1), perpindahan kepada Islam tidak hanya sekedar menyatakan perpindahan kepercayaan agama, tetapi mencakup perubahan identitas budaya. Pada tingkat yang lebih luas, perpindahan kepada Islam mensyaratkan khitan, pantang makanan yang diharamkan (seperti daging babi) dan pantang meminum minuman keras (beralkohol), berbuat lacur, bohong, dan berjudi. Semua itu dipandang sebagai bagian dari kebiasaan orang-orang Cina. Amalgamasi dan konversi agama ke agama Islam bagi etnik Cina di Bengkulu diperkirakan masih akan berlangsung hingga kini. Latar belakang kesadaran mereka untuk memeluk agama Islam karena faktor pergaulan dengan etnik lain yang beragama Islam. Kenyataan ini memberikan penguatan bahwa keberadaan mereka dapat diterima etnik lain dengan ditunjukkan adanya kesamaan keyakinan (agama).
Etnik Cina yang telah lama memeluk agama Islam umumnya menyekolahkan anaknya pada sekolah-sekolah agama (Islam), atau memberikan kursus mengaji pada anaknya. Alasannya, mereka menginginkan anak-anaknya setidak-tidaknya memahami ajaran Islam. Dengan sendirinya anak-anak mereka lebih banyak bergaul dengan umat muslim, walaupun tidak menutup kemungkinan untuk bergaul dengan keluarga mereka (orang Cina). Ikatan kekerabatan bagi Cina muslim tetap terjalin, dan identitas sebagai orang Cina masih melekat. Cara hidup, tempat tinggal, bahasa, adat istiadat menghormati leluhur, kesemuanya masih menampakkan identitas ke-Cinaannya.
Pilihan terhadap sekolah-sekolah Islam ini dilakukan oleh keluarga Afong (H. Ujang Cik). Menurut penuturannya, dia memasukkan dua orang anaknya di sekolah-sekolah Islam seperti SDIT Iqra dan SMPIT Iqra’ Bengkulu. Anaknya yang pertama, Mutiara Redita Anjani selepas di SMPIT Iqra’ Bengkulu kemudian dikirim ke SMUIT Nurul Fikri Banten. Anaknya yang nomor dua, Kiki Bayu Rahardi selepas SDIT Iqra’ Bengkulu dikirim ke Ponpes Rafa Bogor (Wawancara, 22 Maret 2010).
Orang Cina Muslim Kota Bengkulu saat ini jumlahnya tidak begitu banyak. Dari jumlah yang sedikit tersebut jika dibandingkan dengan masyarakat pribumi, terbagi ke dalam dua kelompok berdasarkan asal kelahiran dan lamanya tinggal di Kota Bengkulu. Kelompok pertama adalah orang Cina yang lahir dan telah lama tinggal menetap di Kota Bengkulu, yaitu disebut Cina Bengkulu asli. Kelompok kedua adalah kelompok Cina pendatang, yang lahir di luar Kota Bengkulu dan tinggal menetap di Bengkulu belum terlalu lama jika dibandingkan dengan kelompok pertama. Pada umumnya kedua kelompok adalah golongan Cina peranakan, karena Cina totok sudah tidak lagi ditemukan dengan adanya perkawinan campur antara orang Cina dan orang Bengkulu, dan terhentinya arus migrasi orang-orang Cina dari daratan Cina ke Indonesia (Bengkulu).
Dari segi agama, kesediaan sebagian komunitas Cina memeluk agama Islam telah menjadi faktor pendukung terjadinya asimiliasi, karena menjadi mudah bergaul dengan agama masyarakat setempat yang mayoritas Islam. Jadi, bagi orang Cina yang telah menganut agama Islam dan menunaikan kewajiban sebagaimana mestinya, proses asimilasi benar-benar telah tercipta. Dengan demikian, berarti agama dapat dipastikan sebagai faktor pendukung bagi proses pembauran. Berdasarkan kenyataan bahwa banyak orang Cina yang telah menganut agama Islam dan dapat hidup berdampingan secara intim dengan masyarakat setempat, maka pendapat yang mengatakan bahwa agama Islam khususnya merupakan kesulitan utama dalam proses asimilasi di Indonesia (Bengkulu) tidaklah benar.
(4) Bentuk-Bentuk Asimilasi Etnis Cina Muslim Bengkulu
a. Kontak dan Kerjasama
Dalam interaksinya dengan masyarakat pribumi di Bengkulu, Cina muslim tidak hanya berhadapan dengan orang-orang Cina saja, tetapi juga berhadapan dengan kelompok suku bangsa lain. Baik dari suku asli pribumi Bengkulu maupun suku-suku lain, yang juga ikut membaur, misalnya suku Padang, Batak, Suku Lembak, Palembang dan lain-lain. Umumnya mereka memandang suku bangsa lain, adalah sama dengan bangsa mereka sendiri, apalagi statusnya sama-sama menjadi perantau, sehingga hakikatnya sama saudara (Wawancara dengan Ujang Cik, tanggal 20 September 2010).
Adapun hubungan mereka dengan Cina beragama lain, tetap terjalin dengan baik dan tetap harmonis. Hal ini terjadi secara natural, bahwa bagi mereka agama adalah pilihan hidup, tetapi ikatan kekeluargaan adalah penting untuk terus di bina, bahkan beberapa pengakuan dari mereka (Cina Muslim), beranggapan selama hubungan yang terjalin berkaitan dengan urusan dunia dan tidak menyentuh pada aspek aqidah, maka hal itu harus terus di bangun. Hal ini akan berbeda dengan beberapa suku bangsa lain, ketika mereka melakukan konversi agama, maka akan diasingkan dan bahkan di putuskan jaringan sebagai keluarga.
Sedangkan bentuk lain, sebagai perekat yang dapat menyatukan mereka dalam berhubungan sesama Cina biasanya terjadi karena adanya sesuatu event yang dapat mempererat hubungan mereka, dan mempermudahkan mereka dalam berinteraksi adalah datangnya tahun baru pada kalender Cina, yang dikenal dengan Imlek. Biasanya mereka setiap tahun merayakan peristiwa itu, dengan cara yang muda berkunjung kepada yang lebih tua, mungkin lebih tepat diumpamakan dengan umat Islam di Indonesia umumnya, melakukan kunjungan kerumah-rumah setiap idul fitri.
Komunitas Cina Muslim Bengkulu juga terlibat dalam organisasi kemasyarakatan. Salah seorang responden, Cuwan (Ali Darmawan) mengaku pernah menjadi salah seorang pengurus PITI Cabang Lubuk Linggau. Dia berkeinginan agar di Bengkulu di aktifkan organisasi yang bisa memediasi etnis Cina yang beragama Islam. Harapan ini disampaikan karena dirinya merasa tidak mampu lagi memelopori kegiatan keorganisasian ini karena sudah berusia senja (80 Thn). Demikian juga halnya dengan masyarakat Cina Muslim Bengkulu ada keinginan yang kuat untuk mengaktifkan organisasi PITI. Hanya saja di Bengkulu belum begitu nyata gerakan mereka dalam bentuk bangunan fisik seperti yang ada ditempat-tempat lain, sebagaimana dijelaskan di atas. Namun demikian, umumnya Cina muslim yang ada di Bengkulu, ikut berpartisipasi dalam kelompok PITI ini.
b. Perdagangan
Etnis Cina muslim Bengkulu umumnya menekuni dunia bisnis. Bisnis mereka lebih berhasil dibandingkan dengan bisnis orang pribumi. jika sebuah perusahaan berhasil dalam bidang nonkeuangan, biasanya mengembangkan bisnisnya di bidang keuangan. Sehingga banyak etnis Tionghoa yang menguasai pasar secara nasional maupun internasional, terutama di Asia. Demikian halnya sebagian besar etnis Tionghoa di Bengkulu bergerak dalam bidang bisnis.
Afong (H. Ujang Cik), adalah salah seorang pedagang yang sukses di Kompleks Pertokoan Prapto Kota Bengkulu. Nama pengusaha Cina muslim yang lain adalah H. Muhammad Irawan, pemilik toko bangunan Wijaya di Panorama. Afong setiap hari berinteraksi dengan orang-orang pribumi sehingga sangat akrab dengan warga pribumi. Di Bengkulu sejak dulu sudah ada orang-orang Cina yang bekerja dan berbisnis. Karena orang Cina banyak yang berbisnis dan berhasil (Wawancara, 28 Maret 2010). Menurutnya Etnis Cina di Bengkulu banyak yang berbisnis, termasuk emas. Namun dalam bidang perdagangan emas etnis Bengkulu juga berkembang dan tidak kalah bersaing dengan pedagang emas lainnya. Hubungan antara etnis Cina dan warga Bengkulu berjalan dengan baik. Menurut Ujang Cik, saling menghargai atas dasar prinsip perdagangan membuat kehidupan bisnis terutama sesama pedagang berjalan dengan harmonis.
Sebagai seorang muslim, Ujang Cik tidak membatasi diri bergaul dengan etnis Cina. Teman-temannya orang Cina pun sangat menghargainya. Di samping itu beberapa keluarganya ada yang menikah dengan orang Cina, perempuan maupun laki-laki. Hubungan yang terjalin sesama rekan bisnis terjadi secara profesional sekaligus berimbas pada hubungan sesama kelompok pedagang. Artinya, kelompok pedagang sangat kompak dan saling memberi informasi. Demikian halnya ada perkumpulan pedagang di Pasar Prapto sesama anggota saling mengunjungi terutama pada hari raya Idul Fitri, pesta pernikahan, dan acara kematian pada orang Cina maupun warga Bengkulu.
Hubungan bisnis antara orang Bengkulu dengan etnis Cina (termasuk Cina Muslim) dari dahulu hingga sampai saat ini masih terjadi. Karena jika orang Bengkulu tidak mempunyai hubungan bisnis dengan orang Cina maka orang Cina tidak berkembang di Bengkulu. Hubungan bisnis antara etnis Cina dengan orang Bengkulu diperkirakan sudah berjalan puluhan dan bahkan ratusan tahun. Muhammmad Irawan adalah salah satu contoh warga keturunan Cina yang puluhan tahun sudah bergaul dengan orang Bengkulu sekaligus menjalankan bisnisnya di Bengkulu.
Hubungan bisnis yang dijalankan antara etnis Cina dengan etnis Bengkulu atas saling percaya dan saling menguntungkan. Saat ini banyak etnis Bengkulu yang bekerja pada etnis Cina dan hubungan di antara mereka berjalan lancar. Fenomena itu terjadi di waktu pagi terutama di pasar Bengkulu dan Pasar Bengkulu. Mereka tidak membedakan pedagang etnis Cina dan pedagang pribumi. Di Pasar Bengkulu setiap pagi banyak orang Cina berjualan kue dan pembelinya sangat beragam yaitu orang Cina dan orang Bengkulu. Hubungan tersebut berjalan sangat rasional.
c. Jalur Keagamaan (Pengajian)
Asimilasi melalui jalur keagamaan ini dilakukan oleh warga etnis Cina Muslim melalui pengajian keagamaan, jamaah shalat fardhu, shalat jum’at, shalat hari raya, halal-bihalal dan lain-lain. Di Bengkulu muncul salah seorang Ustad keturunan Cina, H. Martias SH yang aktif menjadi penceramah dan khotib. Dia menjadi khotib tetap di Masjid Marlbourgh Bengkulu (Wawancara dengan Zulkarnain, 24 Oktober 2010).
Sebagian etnis Cina muslim yang lain aktif mengikuti kegiatan-kegiatan pengajian. Seperti diakui oleh H. Ujang Cik, ia aktif mengikuti pengajian yang digelar oleh kelompok pedagang asal Padang yang mengadakan acara pengajian rutin bulanan. H. Muhammad Irawan juga aktif mengikuti pengajian yang di gelar di masjid-masjid di Kota Bengkulu, seperti di Masjid Baitul Izzah, komunitas pengajian Halaqah Kiai Muhammad Syamlan dan pengajian-pengajian yang lain. Melalui forum keagamaan ini, mereka bisa berbaur dengan umat Islam dari berbagai etnis di Bengkulu.
Agama memang bisa menjadi salah satu media untuk membantu memperlancar proses pembauran antara etnis Cina dengan warga pribumi. Pembauran dan asimilasi warga keturunan Tionghoa kedalam bangsa Indonesia dapat terbantu cara Islamisasi secara damai/kesadaran, bukan paksaan/tekanan. Anggapan ini muncul dari sebagian warga Negara Indonesia yang beragama Islam. Dengan masuknya mereka kedalam agama Islam, secara otomatis akan menjadi saudara seiman dan dapat meleburkan jurang pemisah yang sebelumnya menjadi ganjalan untuk dapat bergaul secara akrab. Seperti yang kita lihat sekarang ini banyak kaum keturunan yang ingin masuk kedalam agama Islam, adalah suatu bukti nyata bahwa Islam tidak menyulitkan bagi siapapun untuk memeluknya. Hal ini menandakan bahwa agama Islam sudah tidak di pandang sebagai agama interior oleh keturunan Tionghoa, karena di antara yang turut masuk Islam dari berbagai golongan mulai dari pengusaha, intelektual dan generasi muda keturunan Tionghoa.
d. Pola Pemukiman
Dari segi sosiologis, warga Cina muslim relatif lebih berhasil dalam membangun relasi sosial. Komunitas Cina Muslim Bengkulu berhasil membangun asimilasi dengan warga-warga yang lain Bengkulu. Asimilasi sosial tercermin dalam kehidupan pemukiman atau tempat tinggal. Warga Cina Muslim berhasil melakukan pembauran, sehingga tempat tinggalnya mereka tak jarang berada di tengah-tengah warga-warga pribumi yang lain. Ketika peneliti menanyakan kepada responden, Ali Darmawan, ada sekitar 10 KK keturunan Cina yang beragama Islam di Desanya, Sumurmeleleh Kecamatan Teluk Segara. Mereka tinggal membaur dan bergaul dengan warga selama bertahun-tahun dengan harmonis. Bahkan, mereka merasa aman, dihargai dan dilibatkan dalam kegiatan masyarakat tanpa merasa didiskriminasikan. Warga Cina muslim ini tidak membuat sistem pemukiman block, namun tinggal berpencar-pencar menyatu dengan warga Bengkulu yang lain. Dalam catatan peneliti, warga Cina Muslim ini antara lain Hasan Salim, Sukrianto, Afi, Yam Kiam dan Mery (Wawancara dengan Cuk Wan, 22 Oktober 2010).
Etnis Cina Muslim, sebut saja misalnya H. Muhammad Irawan dan Ali Darmawan yang sudah lama tinggal di Bengkulu merasa nyaman dan tidak terasing dengan orang Bengkulu. Ia tidak tinggal di Kampung Cina, namun memilih berdomisili di tengah-tengah warga pribumi. Di samping rumahnya kini berdiam orang-orang dari berbagai etnis pribumi. Hubungannya dengan etnis Bengkulu berlangsung normal. Rumahnya diapit oleh rumah etnis Bengkulu. Kondisi yang serupa mewarnai etnis Cina muslim yang berdomisili di Desa Sumurmeleleh Kecamatan Teluk Segara. Jumlah mereka sebanyak 10 KK berbaur dengan masyarakat. Mereka berbicara dalam bahasa Bengkulu. Menurut Cuk Wan yang hidup berdampingan dengan etnis Bengkulu, setiap hari bila berjumpa dengan orang Bengkulu ia bercengkerama dan berkomunikasi seperti dengan orang lain. Cuk Wan yang memiliki toko di rumahnya, menye¬butkan bahwa interaksi antara ia dengan orang Bengkulu terjadi dengan sendirinya sebab ia tinggal di lingkungan orang Bengkulu. la pun dapat berbahasa Bengkulu sekaligus ia juga agak hitam war¬na kulitnya sehingga wajah dan perilakunya dan bergaul dengan orang Bengkulu, sehingga interaksinya dengan warga Bengkulu berlangsung harmonis. Ia setiap hari bertemu dengan orang Bengkulu. Karena itu, interaksinya dengan orang Bengkulu berlangsung normal.
Gambaran asimilasi yang seperti ini tentu saja tidak nampak di Kampung Cina. Kampung Cina dikenal sebagai pusat konsentrasi pemukiman etnis Cina di Bengkulu. Etnis Cina yang tinggal di dis sini, dulu memang dikondisikan oleh pemerintah Hindia Belanda, sehingga sampai saat ini mereka lebih senang tinggal di komunitasnya sendiri. Demikian halnya tradisi mempertahankan identitas budaya dan cinta kebudayaan membuat etnis Cina cenderung tinggal di tempat yang banyak dihuni oleh sesama etnisnya sendiri. Demikian halnya kebiasaan bisnis yang diwariskan secara turun-temurun membuat etnis Cina lebih betah tinggal di kelompoknya sendiri. Jaringan yang dipraktikkan oleh etnis Cina Perantauan di Bengkulu sampai sekarang masih berlaku dan mentradisi bagi etnis Cina sendiri. Jaringan yang dibentuk tersebut membuat mereka menjadi lebih dekat dan percaya terhadap etnis Cina daripada etnis lainnya.
e. Pernikahan
Pernikahan Etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi yang beragama Islam bisa terjadi. Hal inilah yang bisa membawa Etnis Tionghoa untuk memeluk agama Islam. Bagaimanapun juga, kalau orang laki-laki pribumi yang beragama Islam menikah dengan seorang wanita Tionghoa maka pernikahannya akan diatur oleh hukum Islam, karena seorang istri harus mengikuti suami. Pernikahan diantara dua individu yang berbeda agama, masing-masing harus tunduk pada hukum-hukum yang dianut oleh hukum suami. Pernikahan antara Etnis ini mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru.
Proses asimilasi antara etnis Cina muslim dengan warga pribumi di Bengkulu juga karena faktor maraknya pernikahan antar etnis Cina muslim dengan wanita pribumi. Proses perkawinan seperti ini bisa dikategorikan sebagai perkawinan antaretnik (asimilasi perkawinan atau amalgamasi). Menurut penelusuran, kebanyakan isteri-isteri etnis Cina Muslim berasal dari warga Bengkulu. Dalam model perkawinan seperti ini, antara pasangan suami isteri lebih melihat kesamaan agamanya, bukan melihat segi etnisnya. Berkaitan dengan persoalan ini, peneliti berusaha mengkofirmasikan dengan Ujang Cik. Dikatakannya, ia menikahi seorang muslimah asli Palembang, namanya Nyimas Tauhidah. Kejadian seperti ini mendapat respon positif dari warga. Dari data yang dihimpun terungkap bahwa salah seorang Cina Muslim, Muh. Irawan (pemilik toko bangunan Wijaya di Panorama) menikahi perempuan warga Bengkulu asli, Lindawati, Effendi Salim menikahi perempuan asal Malalo Padang, Hasan Salim juga menikah perempuan asli Bengkulu (Wawancara dengan Cuk Wan, 22 Oktober 2010).
Setelah Islam datang ke Bengkulu, sistem kemasyarakatan, sistem ne¬gara atau dengan kata lain, sistem budaya Bengkulu diwarnai oleh Islam. Namun demikian sistem budaya dan kesenian sedikitnya masih banyak dipengaruhi oleh budaya India, sedangkan pakaian banyak dipengaruhi budaya India dan bahasa dipengaruhi oleh Indocina dan Arab. Etnis Cina yang datang ke Bengkulu dulu umumnya umat Kong Hu Cu dan Budha, dan mereka mengajarkan agama mereka kepada umatnya sendiri, sedangkan etnis Cina Islam yang terkenal sebagai Bahariwan dan pernah menyerahkan hadiah kepada Raja Bengkulu adalah Cheng Ho. Cheng Ho sebagai muslim yang tact dan diplomat ulung pada Dinasti Ming mengelilingi Asia Tenggara sampai 7 kali perjalanan. Selain Cheng Ho, juga ada penyiar agama Islam keturunan Cina seperti Kariem Oi, Masagung sedangkan yang lainnya tidak banyak diketahui sehingga sedikit diketahui etnis Cina yang menganut agama Islam. Jika pun ada yang beragama Islam, mereka telah menetap di Bengkulu.Asimilasi melalui agama Islam atau agama mayoritas merupakan suatu hal yang sangat mudah diterima oleh masyarakat. Namun demikian etnis Cina yang menganut agama Islam di Bengkulu sangat sedikit.

f. Jalur keorganisasian dan Perpolitikan
Di Kota Bengkulu, secara struktural memang tidak tampak kegiatan-kegiatan mereka pada ormas Islam, hanya saja secara keseluruhan mereka tetap memiliki pegangan atau keikutsertaan dalam memilih pemahaman keagamaan terhadap ormas Islam, terdapat dari mereka yang mengikuti cara ibadah NU, Muhammadiyah, dan Tarbiyah Islamiyyah. Menurut mereka semua organisasi Islam pada dasarnya baik, dan memiliki landasan hukum yang jelas, hanya saja tetap saja memiliki peran dan pengalaman serta pilihan masing-masing individu dalam melaksanakan ibadah. Sebagian Cina Muslim di Bengkulu juga melibatkan diri dalam wadah Pembina Iman Tauhid Islam d/h Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). PITI merupakan organisasi yang didirikan di Jakarta, pada tanggal 14 April 1961, antara lain oleh almarhum H.Abdul Karim Oei Tjeng Hien, almarhum H. Abdusomad Yap A Siong dan almarhum Kho Goan Tjin bertujuan untuk mempersatukan muslim Indonesia dengan Muslim keturunan Tionghoa dan muslim keturunan Tionghoa dan etnis Tionghoa erta umat Islam dengan etnis Tionghoa.
Sejak didirikan sampai dengan saat ini, keanggotaan dan kepengurusan PITI bersifat terbuka dan demokratis, tidak terbatas (eksklusif) hanya pada Muslim keturunan Tionghoa tetapi juga berbaur dengan Muslim Indonesia. Ibarat sesosok tubuh manusia, maka “wajahnya adalah muslim keturunan Tionghoa”, bagian/ komponen tubuh lainnya adalah muslim Indonesia. Jika pada satu saat, karena kesepakatan anggota, kepanjangan PITI kembali menyandang/mempergunakan nama etnis Tionghoa pada nama organisasi ini, itu semata-mata sebagai strategi dakwah dan kecirian organisasi ini bahwa prioritas sasaran dakwahnya tertuju kepada etnis Tionghoa.
Bagi etnis Tionghoa non muslim, PITI dapat jadi jembatan antara mereka dengan umat Islam. Bagi Pemerintah, PITI sebagai komponen bangsa yang dapat berperan strategis sebagai jembatan, penghubung antara suku dan etnis, sebagai perekat/lem untuk mempererat dan sebagai benang yang akan merajut persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Muktamar Nasional III PITI di Kota Surabaya ini, tanggal 2-4 Desember 2005, untuk periode 2005-2010, memilih kembali sebagai Ketua Umumnya, HM Trisno Adi Tantiono.
Dalam bidang perpolitikan, kecenderungan para warga etnis Cina Muslim adalah bergabung ke partai-partai yang berbasis keagamaan, misalnya PKS, PAN, PPP, PKB dan juga bergabung ke beberapa partai lainnya berbasis nasionalis seperti Golkar, PDI P, dan lain-lain. Bahkan salah seorang warga keturunan Cina yang beragama Islam, namanya Effendi Salim berhasil menjadi anggota DPRD dari PKS (Wawancara, 22 Oktober 2010). Melalui wadah parpol-parpol ini, mereka terlibat dalam proses penentuan arah dan perjalanan berbangsa dan bernegara, yang secara tidak langsung menjadikan mereka berasimilasi dengan etnis-etnis yang lain di Bengkulu.
g. Berganti Nama/Tukar Identitas
Merupakan sesuatu yang sesuatu yang lumrah di kalangan beberapa daerah atau proses pembauran antar penduduk, terutama dalam etnis cina muslim di Bengkulu, melakukan pertukaran nama dari nama “cina” menjadi nama-nama yang lebih familier dengan masyarakat Bengkulu. Berdasarkan hasil penelitian, kebanyakan etnis Cina Muslim menggunakan nama-nama Islami, sementara nama Cinanya sudah tersamarkan. Contohnya, salah seorang responden memiliki nama Cina Afong, kemudian berganti nama Ujang Cik, Antonius kemudian berganti nama menjadi Ahmad Salahuddin. Anak-anaknya juga menggunakan nama-nama yang lebih dikenali yakni: Kiki Bayu Rahardi, Ahmad Fauzan Adima dan Mutiara Redita Anjani. Putera-puteri H. Muhammad Irawan, pemilik took bangunan H. Wijaya yang terletak di Panorama juga menggunakan nama-nama yang lebih dikenali: Mita Munawaroh, Ayudi dan Nursela.
h. Seni Budaya
Masyarakat Tionghoa Bengkulu, agaknya, perlu bersyukur bahwa Imlek dijadikan hari besar Nasional Imlek 2553 Tahun Cina yang jatuh pada tanggal 12 Februari 2002 silam. Hal ini tak terlepas dari perjuangan sebuah lembaga yang menamakan diri Yayasan Lestari Kebudayaan Tionghoa Indonesia (YLKTI). Di Bengkulu Sendiri terdapat Yayasan Yasin merupakan kumpulan etnis Tionghoa asal Bengkulu. Masyarakat Tionghoa sendiri telah ada di Bengkulu telah ada di Bengkulu semenjak jaman penjajahan inggris di Bengkulu. Belum ada sumber yang dapat menjelaskan waktu yang pasti kapan kedatangan mereka di Bengkulu. Tapi pastinya sangat terkait dengan keberadaan pelabuhan Bencoolen di daerah kampung cina sebagai gerbang masuk seluruh pendatang. Walau tergolong pendatang tapi budaya tionghoa telah bercampur dengan budaya Bengkulu, baru-baru ini pun mereka ikut tampil dalam kesenian budaya Tabot Bengkulu. Apalagi di hari besar imlek, tarian barongsai dapat kita lihat di bebrapa sudut kota Bengkulu (http://ragam bengkulu.blogspot.com/ 2010/01/budaya-tionghoa-di-bengkulu.html
Asimilasi dalam seni budaya telah menumbuhkan saling apresiasi budaya yang sangat tinggi di antara warga. Hal ini mengakibatnya hidup dan tumbuh berkembangnya budaya-budaya warisan dari darah asal. Menurut warga, kesenian tradisonal khususnya yang bernuansa keagamaan bisa berkembang dengan memperoleh ruang secara lebih toleran di kawasan ini. Hal ini ditandai berkembangnya group-group kesenian barongsai dan dipentaskan pada acara-acara Tabot, Tujuh Belasan dan acara-acara penting yang lain.
i. Penggunaaan Bahasa
Penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari orang-orang Cina Muslim di Kota Bengkulu, seperti di berbagai tempat lain, menggunakan Bahasa Indonseia dengan baik dalam berkomunikasi. Bahkan, dari mereka telah banyak yang telah membaur dengan masyarakat asli Bengkulu dengan menggunakan bahasa daerah Bengkulu dalam berkomunikasi sehari-hari (Wawancara dengan Cuk wan, 22 Oktober 2010).
Bahasa Bengkulu bagi Cuk Wan adalah suatu kebutuhan utama dalam menjalankan kegiatan sosial warga Cina di Bengkulu. Bahasa Bengkulu adalah bahasa daerah, menurut Afong (H. Ujang Cik), Bahasa Bengkulu banyak diketahui oleh etnis Cina, terutama yang tinggal di pinggir kota maupun yang berinteraksi langsung dengan orang Bengkulu. sebagai etnis Cina yang dilahirkan di Bengkulu Pak Ahsan lancar berbahasa Bengkulu. Fenomena tersebut karena sebagai salah seorang pengurus Yayasan sosial harus berinteraksi dengan orang Bengkulu setiap saat. Ahsan sebagai pengurus Toa Pe Kong, ia sering berbicara dengan penggali kuburan menggunakan bahasa Bengkulu. Demikian halnya jika pergi ke desa ia sering mempergunakan bahasa Bengkulu sehingga bahasa Bengkulu tidak asing bagi Ahsan. Demikian juga supir bis sekolah Cina dan mobil jenazah adalah etnis Bengkulu, sehingga Ahsan dengan sendirinya dapat berbicara dalam bahasa Bengkulu.
Menurut pengakuan Ali Darmawan, dirinya berko¬munikasi dengan para tetangganya dengan menggunakan bahasa Bengkulu. Asimilasi melalui bahasa daerah sebagai jembatan dalam berasimilasi. Asimilasi melalui bahasa Bengkulu terlihat pada etnis Cina yang tinggal di pinggir perkotaan maupun yang berjualan di pasar-pasar tradisional. Oleh karena itu bahasa Bengkulu mereka sangat lancar. Demikian halnya jika etnis Cina yang dapat berbicara dengan bahasa Bengkulu umumnya sangat akrab dengan orang Bengkulu sekaligus kehidupannya tidak eksklusif dan pergaulannya tidak terbatas pada etnis Cina saja tetapi bergaul dengan kelas di masyarakat.
Bahasa Bengkulu sebagai bahasa ibu bagi masyarakat Bengkulu menurut penuturan Cuk Wan, ia sudah terbiasa mendengar orang Bengkulu berbicara bahasa Bengkulu. Oleh karena itu, Cuk Wan sudah lancar berbahasa Bengkulu. H. Muhammad Irawan sebagai pemilik toko bangunan Wijaya, yang semua konsumennya adalah orang Bengkulu menjadikan ia dengan sendirinya dapat berbahasa Bengkulu. Di samping itu Cuk Wan sebagai orang Cina yang berdomisili di Bengkulu, menyebutkan bahwa bahasa Bengkulu adalah bahasa yang sangat penting jika kita ingin berbisnis di Bengkulu. Oleh karena itu Cuk Wan saat ini sangat aman hidup dan tinggal di Bengkulu. Ia dan keluarganya tidak pemah membayangkan untuk hijrah ke tempat lain. Darwin selain dapat berbicara dalam bahasa Bengkulu secara fasih sekaligus anak-anaknya semua sekolah dan kuliah di Bengkulu sehingga pergaulannya semua dengan orang Bengkulu.
Dengan kata lain, asimilasi melalui Bahasa Melayu Bengkulu dilakukan oleh warga Cina dengan motivasi yang beragam. Sebagian dimotivasi untuk kepentingan bisnis dan harmonisasi social. Fenomena menunjukkan bahwa etnis Cina yang dilahirkan di Kota Bengkulu selain dapat berbahasa Bengkulu dengan lancar, mereka juga sangat menyatu dengan masyarakat Bengkulu.
Anak anak ujang cik bersekolah di sekolah di Bengkulu. Ia waktu sekolah sering bergaul dengan etnis beragam yang mereka pergunakan bahasa Indonesia karena diajarkan di rumah maupun disekolah. Setelah berhari-hari berinteraksi dengan orang Bengkulu baru ia dapat berbahasa Indonesia. Saat ini ia sudah bisa bergaul dengan orang bengkulu karena sebelumnya setiap hari, mereka bergaul dengan etnisnya yang berbicara dalam bahasa melayu.


j. Jalur Pendidikan
Asimilasi melalui pendidikan sebagai proses sosialisasi yang dilakukan oleh etnis Cina Muslim di Bengkulu suatu kesengajaan dari etnis Cina, terutama para remaja. Karena di Bengkulu sekolah swasta Islam yang diunggulkan adalah SDIT dan SMPIT Iqra’ maka para orang tua dari etnis Cina Muslim yang anak-anaknya memperoleh pendidikan umum dan keagamaan yang maksimal cenderung menyekolahkan ke sekolah model Islam terpadu ini. Tercatat para orang tua dari kalangan etnis Cina Muslim antara lain: H. Muhammad Irawan dan Ujang Cik memasukkan anak-anaknya ke SDIT dan SMPIT Iqra’ Bengkulu.
Melalui media pendidikan atau sekolah ini, proses asimilasi antara mereka dengan warga pribumi tercipta dengan sendirinya tanpa suatu pemaksaan. Sebab sekolah sebagai media pertemuan beragam etnis sekaligus media berinteraksinya siswa yang berbeda budaya atau subbudaya yang ada di Bengkulu. Dengan adanya asimilasi melalui pendidikan menciptakan suatu hubungan sesama etnis semakin harmonis. Oleh karena itu, asimilasi melalui media pendidikan sebagai awal dari asimilasi yang akan berkembang di kemudian hari, di antaranya melalui agama dan pernikahan. Asimilasi melalui media sekolah dapat membentuk suatu sikap kebersamaan, profesi, dan pembentukan kesatuan bangsa berbasis keindonesian. Karena sekolah, terutama sekolah pemerintah, berperan sebagai sekolah yang dapat menampung semua aspirasi ma¬syarakat Indonesia.

H. Simpulan
Berdasarkan paparan di muka dapat ditarik beberapa poin pemikiran:
1. Proses asimilasi etnik Cina muslim dengan etnis lain di Bengkulu dipengaruhi oleh faktor agama dan sosial sehingga membentuk ikatan solidaritas yang kuat di antara mereka.
2. Etnik Cina Muslim di Kota Bengkulu dalam kehidupan sosial membentuk kelompok ikatan kekerabatan yang mencair dan inklusif (terbuka). Etnis Cina muslim sudah bisa menyerasikan dengan tradisi yang ada di agama Islam. Dalam memilih pasangan hidup pun Etnis Cina muslim sudah bisa lebih dalam
3. Ada beberapa bentuk asimilasi yang terjadi di kalangan etnis Cina Muslim di Bengkulu. Asimilasi itu terjadi melalui jalur: Kontak dan kerjasama, perdagangan, keagamaan/pengajian, pola pemukiman, pernikahan, organisasi dan perpolitikan, berganti nama/tukar identitas, seni dan budaya, penggunaan bahasa, dan jalur pendidikan.





DAFTAR PUSTAKA

Afif, 1999. Etnik Cina dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Majemuk. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Ali, HM & Hariyudin (editor), 1999. Persepsi WNI Keturunan Cina terhadap Islam. Jakarta: Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan.
Budiman, Amen. 1979. Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia. Semarang: Penerbit Tanjung Sari.
Budiman, A.(1998). Cina atau Tionghoa. dalam Majalah Mingguan D&R. No.01/XXX/22 Agustus 1998.
Dollah, Hanapi, 1986. Asimiliasi Budaya, Kajian Kes Komuniti Cina di Kelantan, Malaysia, Penerbit Universiti kebangsaan Malaysia.
Eka, dkk. 2007. Sejarah Keturunan Tionghoa Indonesia htp//pantangpulang sebelumpadam. blogspot.com/ 2007/12/Sejarah-Keturunan-Tionghoa-Indonesia. html
Garna, Yudistira K. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial, Dasar-Konsep-Posisi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.
Harioyono, Paulus.,2006, Stereotipe Dan Persoalan Enis Cina di Jawa. Mutiara wacana, Semarang.
------------Kultur Cina dan Jawa ( Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural ). Jakarta : Sinar Harapan.
Hidayat, ZM., 1984. Masyarakat Dan Kebudayaan Cina Indonesia. Bandung: Tarsito.
Husodo, Siswono Yudo, 1985. Warga Baru Kasus Cina di Indonesia. Jakarta: Yayasan Padamu Negeri.
John. E neveront, 1999 : 55-56. Jaringan Masyarakat Cina. (Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta PT. Gramedia.
Koentjaraningrat. 1993. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT Gramedia.
Lan, T.J.(2000). Susahnya Jadi Orang Cina. Ke-Cina-an Sebagai Konstruksi Sosial. Dalam Wibowo, I (editor). Harga Yang Harus Dibayar. Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Cina.
Leo Suryadinata, 2002. Negara Dan Etnis Tionghoa. Jakarta : Pustaka LP3S INDONESIA.
Muhajir, Noeng, 2000. Metodologi penelitian kulitatif. Yogyakarta Rake Sarasin. Hal 183-188.
Mackie, J.A.C. (1991). Peran ekonomi dan identitas Etnis Cina Indonesia . Jakarta: Pustaka Utama Grafika.
Markhamah. 2005, Etnik Cina (Kajian linguistik Kultural). Surakarta, MU. Press. Universitas Muhamadiyah Surakarta.
Misbah Zulfa Elizabeth, Cina Muslim Studi Ethnoscience Keberagamaan Cina Muslim (Semarang: Walisong Press, 2009).
Park, Robert E.1957 : 281. Encylopedi Of The Social Science. Jakarta, PT. Sinar Harapan.
Poerwanto, Hari, 2005. Orang Cina Khek dari Singkawang, Depok, komunitas Bambu.
Ramli, dkk. 2006. Mengenal Islam. UPT. UNNES Press
Saidi, Ridwan, 1986. Cina Muslim di Indonesia. Jakarta, Yayasan Ukhuwah Islamiah.
Soemardjan, Selo, 1988. Streotip Etnik, Asimilasi, Intergritas Sosial. Jakarta: Pustaka Grafika Kita.
Suparlan, Parsudi, Yuswantoro, A. Kurnadi. 1989. Interaksi antar Etnik di Beberapa Propinsi di Indonesia, Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisonal, Proyek Investarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya
Suryadinata, L.(1999). Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES.
Zastrow, Charles, 1989. Understanding Human Behavior and The Social Environtment. Chicago: Nelson, Hall.
Zein, Abdul Baqir, 2006. Etnis Cina Dalam Potret Pembauran di Indonesia, Jakarta, Prestasi Insan Indonesia.
Z.M, Hidayat, 1993. Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia, Bandung: Tarsito.

Kamis, 03 Juli 2008

Penawaran Bantuan Penerbitan Buku

Kepada Yth.
Bapak/Ibu Dosen dan Guru
di-
Tempat.
Assalamu'alaikum wr. wb.
Jika sekiranya Bapak/Ibu memiliki naskah yang layak diterbitkan dan bapak/Ibu sangat berkepentingan untuk menerbitkannya menjadi sebuah karya buku yang bisa dibaca khalayak luas bisa kontak ke saya untuk saya hubungkan ke penerbit. Silahkan hubungi no. hp saya: 081578895554 atau melalui email: Zubaedi1969@yahoo.com
Saya memiliki jaringan penerbit: Pustaka Pelajar, Arruz Media dan, Nusa Media.
Terima kasih.

Selasa, 18 Desember 2007

Refleksi

MENGIKIS POLA HIDUP SEKULERISME DALAM MASYARAKAT MUSLIMPerayaaan Idul Adha pada tiap tanggal 10 Dzulhijjah menjadi momentum berharga bagi umat Islam dalam memperbaiki pola keberagamaan dan kualitas peribadatan agar lebih sejalan dengan tuntutan nilai-nilai Qur’ani. Sebuah upaya untuk membangun kualitas keagamaan menjadi pekerjaan besar umat Islam mengingat kecenderungan keberagamaan mereka yang hingga saat masih bersifat ambigiutas. Kecenderungan keberagamaan yang ambigiutas ini antara lain ditandai dengan tingginya gairah peribadatan pada saat bulan ramadhan namun kembali sepi dan merosot pada bulan-bulan di luar ramadhan.
Keberagamaan seperti itu cenderung melahirkan sikap kurang konsisten dalam beragama karena tidak didasari sikap loyal atau setia terhadap ajaran agama. Jika sudah demikian, ajaran agama yang diyakini tidak mampu melekat sebagai sumber nilai yang memandu perjalanan hidupnya. Akibatnya, akan merenggangkan jarak antara tuntutan das sein atau idealitas Qur’ani dengan das sollen atau realitas hidup yang dihadapi. Banyak orang yang secara formal memeluk Islam, namun prilaku sosial, ekonomi, budaya maupun politik yang yang dipraktekkan kurang mencerminkan nilai-nilai Islami. Pola hidup seperti ini secara sosiologis dikenal dengan pola hidup sekuleristik.
Fenomena Sekulerisasi
Dalam skala global, persoalan pokok yang dihadapi agama memang masalah sekulerisasi. Sekulerisasi itu menjelajahi kehidupan sosial dalam dua bentuk yakni sekulerisasi obyektif dan sekulerisasi subyektif. Sekulerisasi obyektif bersifat konkrit dan radikal, biasanya ditandai dengan pemisahan urusan/bidang agama-rohaniah dengan urusan/bidang material-jasmaniah. Praktek ini mudah kita temukan dalam sejarah kehidupan masyarakat modern, terutama negara-negara Barat yang mempunyai pengalaman negatif soal hubungan agama (gereja) dengan keilmuan.
Adapun sekulerisasi subyektif bersifat halus, biasanya ditandai dengan perasaan atau keyakinan batin untuk tidak menghubungkan pengalaman pragmatis sehari-hari dengan pengalaman keagamaan. Ia cenderung membebaskan diri dari kontrol ataupun komitmen terhadap nilai-nilai agama. Begitu halusnya sampai-sampai orang yang mempraktekkannya kadang-kadang kurang menyadarinya. Barangkali pernah dalam sanubari kita tertanam keyakinan bahwa saya makan untuk kenyang, bekerja untuk mencari uang, meraih prestasi atas dasar kemampuan dirinya sendiri. Semuanya steril dan campur tangan atau kepentingan Tuhan. Kalau keyakinan kita sampai di situ maka kita telah mengidap gejala sekulerisasi subyektif.
Fenomena sekuleristik ini telah menjadi kecenderungan umum masyarakat modern. James L. Peacock dan A. Thomas Kirsch, penulis Buku The Human Direction adalah sebagian ilmuwan yang berpendapat seperti itu. Menurut keduanya, masa depan manusia adalah sekuler dan transendentalisasi atau proses di mana Tuhan menjadi impersonal.
Jika dilacak, munculnya kecenderungan masyarakat modern ke arah sekuleristik dikondisikan oleh sains dan teknologi. Konstruksi iptek modern yang kurang mengakomodasi dimensi religiusitas bersumber dari paradigma yang diandalkan oleh para ilmuwan modern dalam membangun pengetahuan yang bercorak rasionalistik, positivistik dan pragmatis. Cara berpikir yang lebih mementingkan hal-hal rasional-material dan menafikan hal-hal spiritual metafisik ini secara tidak sadar telah mereduksi dimensi kemanusiaan yang secara fiitrah tidak bisa lepas dari hal-hal mistis spiritualis. Salah satu dampaknya, umat menjadi terperangkap pada jaringan sistem rasionalitas ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang humanis. Jika sudah demikian, manusia modern akan mengalami kekosongan dalam landasan moral dan kurang mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dalam aspek nilai-nilai ilahiyah (transenden).
Pengalaman masyarakat Barat setidak-tidaknya telah memberi pelajaran berharga akan hal ini. Masyarakat Barat yang kini memasuki era post industrial society -dengan meraih kemakmuran material melimpah berkat perangkat teknologi yang serba mekanis dan otomatis- bukannya semakin mendekati kebahagiaan hidup, namun justeru menghadapi berbagai kecemasan hidup dan rendahnya rasa kebermaknaan hidup. Mereka merasa cukup dengan berbagai kemudahan hidup yang dihasilkan iptek modern, sementara itu pemikiran dan paham keagamaan yang bersumber dari ajaran wahyu kian ditinggalkan. Akibatnya, kehidupan keagamaannya meluncur pada Post Christian Era dengan mengembangkan pola hidup sekulerisasi. Mereka berpaling dari “dunia sana” dan hanya memusatkan perhatiannya pada “di sini dan sekarang ini”. Karena mereka memuja kemakmuran material yang disimbolkan dengan penguasaan uang maka agama yang paling dominan dalam kehidupannya diistilahkan dengan the religion of money.
Salah satu upaya untuk mengatasi krisis moralitas yang dihadapi masyarakat modern, sebagaimana saran beberapa ilmuwan, adalah menghidupkan kembali pandangan dan sikap hidup keagamaan. Upaya ini selaras dengan naluri setiap manusia selaku homo religius yang tentu tak dapat meninggalkan unsur-unsur rohaniah/adi kodrati dalam kehidupannya.
Model Keislaman
Umat Islam sebagai salah satu komunitas dunia perlu mengambil pelajaran tragedi kemanusiaan yang dialami masyarakat Barat. Umat Islam secara serius perlu mengantisipasi merasuknya cara-cara hidup masyarakat Barat yang sekuleristik, mengingat mereka kini hidup dalam arus besar globalisasi di mana ekspansi budaya dan pola hidup dari Barat (yang sebagian berparadigma sekulerisme) mengalir deras ke negara kita. Jika kita kurang serius mengantisipasi dampak negatif globalisasi secara tidak langsung akan memberi jalan bagi masuknya pola hidup sekuleristik. Kekhawatiran seperti ini perlu kita miliki, mengingat struktur kebudayaan kita cukup rentan untuk dimasuki oleh pengaruh dari luar.
Tanpa memiliki komitmen dan loyalitas kepada ajaran agama yang kita peluk dengan sendirinya akan memperlemah daya tahan budaya agamis kita dalam menghadapi rembesan nilai dari luar. Apalagi, nilai-nilai asing sekarang ini datang secara berlebihan (over load) dibandingkan masa-masa yang lalu. Nilai-nilai itu umumnya mengalir dari negara yang tengah memegang supremasi iptek seperti Eropa dan Amerika. Nilai-nilai asing yang datang melalui jalur interaksi dengan negara-negara maju itu perlu kita saring karena di dalamnya kadang-kadang bersifat ambivalen. Ada nilai yang bersifat sekuleristik dan bertentangan dengan bangunan nilai yang kita miliki serta ada nilai yang bersifat positif dalam membangun kemajuan.
Dalam mengantisipasi masuknya cara-cara hidup sekuleristik dari luar memerlukan kerja sama di antara seluruh elemen umat beragama di Indonesia. Sesuai dengan komposisi demografis umat Islam yang mayoritas, mau tidak mau mereka dituntut tanggung jawab secara lebih besar pula dalam proses antisipasi ini. Upaya antisipasi ini bisa diawali dengan melakukan koreksi terhadap model keislaman yang kita kembangkan. Untuk itu, ada sebuah pertanyaan besar yang terlebih perlu kita jawab, sudahkah model keislaman yang kita kembangkan sejalan dengan cita¬-cita yang diajarkan oleh Islam?
Kita akui fenomena keberagamaan sebagian pemeluk Islam belum mencerminkan idealitas sebagaimana yang dituntut oleh ajaran Islam. Nilai-nilai Islam belum berfungsi sepenuhnya sebagai sumber nilai yang menjadi tolok ukur dan rujukan dalam menilai baik-buruk sebuah perbuatan. Yang sering terjadi, umat Islam mengeksploitasi ajaran agamanya demi memuluskan kepentingan pribadi maupun atau golongannya sendiri. Islam diidentifikasi dalam sebuah simbol, slogan dan aliran pemahaman keislaman tertentu yang cenderung membelah kehidupan sosial umat Islam dalam retakan-retakan sosial dan cenderung menempatkan pemeluk Islam di luar kelompok atau organisasinya sebagai saingan dan musuh. Jika gejala ini berkembang, sudah pasti makna Islam yang seharusnya menjadi rahmatal lil’alamin dan pemersatu umat menjadi tereduksi.
Bisa dikatakan, umat Islam belum mampu melaksanakan ajaran agamanya secara totalitas (kaffah). Sebagian pemeluk Islam tampaknya masih melaksanakan ajaran agamanya secara parsialis atau sepotong-sepotong sesuai interes-nya masing-masing. Salah satu contohnya dalam masalah pelaksanaan zakat. Kewajiban zakat yang sudah dipenuhi dengan baik baru zakat fitrah. Sementara zakat mal yang semestinya dapat mendongkrak kekuatan ekonomi umat Islam belum mendapatkan perhatian secara seksama.
Ambigiutas dalam keberagamaan ini dalam tinjauan psikologis dikenal dengan istilah schizo¬prenia atau kepribadian terbelah. Gambaran seseorang yang mengidap schizo¬prenia adalah ia bermanis-manis kepada Tuhan ketika di tempat ibadah, namun dia mengumbar hawa nafsunya sendiri ketika di luar tempat ibadah. Ia dapat menjalin komunikasi secara harmonis dengan Tuhan dalam limpahan kenikmatan eskatologis semata-mata, namun ia tidak mampu mengaktualisasikannya dalam keharmonisan di antara sesama manusia. Jadi, konfigurasi hubungan personal dengan Tuhan (habluminallah) tertata rapi tapi konfigurasi hubungan sosial dengan sesama manusia (habluminannas) rapuh. Hal inilah yang perlu dikonstruksi ulang agar kita dapat menciptakan keutuhan dalam menjalankan dimensi-dimensi keislaman. Kalau kita secara simultan mampu memenuhi tuntutan aspek teologis/keimanan, syari’ah/¬peribadatan dan muamalah/pergaulan akan menjadikan keislaman kita paripurna.
Jelasnya, kita perlu memenuhi aspek syari’ah karena aspek syari’ah merupakan perwujudan dan aspek aqidah. Orang yang percaya kepada Allah harus mengimplementasikannya dengan melakukan perintah dan menjauhi larangannya. Perintah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah disebut ‘ibadah, yakni upaya seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jenis ibadah dalam tinjauan Ushul fiqh ada dua macam. Pertama, ‘ibadah qashirah, yaitu ibadah yang nilai kemanfaatannya kembali pada pribadinya sendiri. Kedua, ‘ibadah muta’adiyah yakni ibadah nilai kemanfaatannya untuk kepentingan umum. Berkaitan dengan pembagian jenis ibadah ini, ada kaidah fiqh yang menyatakan bahwa ibadah yang bermanfaat bagi orang lain lebih utama daripada ibadah yang manfaatnya hanya kepada diri sendiri. Namun hal ini tidak dapat diartikan bahwa beribadah muta’addiyah lebih baik dengan meninggalkan ibadah qashirah. Kecuali apabila terjadi dilematis atau ta’arud antara keduanya, maka seorang muslim lebih diutamakan untuk memilih ibadah muta’adiyah sepanjang qashirah yang dihadapinya tidak berupa fardlu ‘ain.
Pada prinsipnya, Islam sangat menekankan keterkaitan atau inter-connectednes satu ajaran dengan ajaran yang lain, yang sebagian tercermin dalam keterkaitan antara puasa dengan zakat, hubungan vertikal dengan hubungan horisontal, iman dengan amal shalih dan shalat dengan solidaritas sosial. Keterkaitan itu kadang-kadang disebutkan secara eksplisit sebagaimana terekam dalam Surat a1-Maa’uun. Intisari Surat ini menggarisbawahi bahwa seseorang yang mengerjakan shalat tetap dikategorikan mendustakan agama kalau ia tidak memiliki kepedulian sosial terhadap kemiskinan.
Dengan kata lain, epistemologi dalam Islam adalah epistemologi relasional yang menekankan hubungan antara satu unsur dengan unsur lain. Keterkaitan ini biasanya disebut logical consequence (konsekuensi logis) dari satu unsur. Rukun Islam mengerjakan shalat, zakat, puasa dan haji merupakan konsekuensi logis dri rukun Islam membaca syahadah. Zakat adalah konsekuensi logis dari puasa, sebagai sebuah bukti adanya kesadaran sosial setelah seseorang merasakan sendiri bagaimana penderitaan akibat lapar dan haus.
Akhirnya, dengan menerapkan ajaran Islam secara benar secara tidak langsung akan menghindarkan pemeluknya dari pola hidup sekuleristik. Jika agama dilaksanakan secara benar diyakini akan memberikan efek psikologis dan sosiologis yang menentramkan bagi kehidupan sosial. Sebagai dampaknya, kegiatan apapun yang kita ikuti baik dalam bidang politik, ekonomi dan sosial akan berjalan lebih bermoral karena dilandasi oleh nilai-nilai etika yang bersumber dari agama.
Dari sini, masa depan Islam tampaknya banyak ditentukan sejauh mana kemampuan dan kemauan para pemeluknya sendiri dalam menerapkan substansi ajaran Islam secara benar dan proporsional. Kita akui, Islam telah berkembang menjadi agama rakyat namun akar dan identitas kultural masyarakat masih banyak yang belum tersentuh oleh dakwah Islam. Oleh karena itu, salah satu agenda yang menjadi tugas keumatan sekarang dan masa mendatang adalah bagaimana mentransformasikan dasar kepercayaan dan bangunan norma sosial umat Islam agar benar-benar selaras dengan nilai-¬nilai Islami.

Makalah

KAPITA SELEKTA PENDIDIKAN ISLAM:
MENGIDENTIFIKASI DAN MENCARI SOLUSI TERHADAP PROBLEM PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER


Oleh: Dr. Zubaedi M. Ag. M. Pd

Bahan ajar “Kapita Selekta Pendidikan Islam” patut kita sambut positif sebagai bagian dari ikhtiar untuk memperkaya perspektif dalam melihat eksistensi lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Kehadiran teks ini secara khusus akan menjadi bahan dialog reflektif bagi para akademisi serta pratisi pendidikan Islam dalam konteks lokal maupun global.
Cakupan bahan ajar ini cukup lengkap, yang disajikan ke dalam delapan bagian. Pertama, bagian pendahuluan yang berisi uraian tentang berbagai teori pendidikan, pengertian pendidikan, tujuan dan metode pendidikan Islam serta berbagai hasil penelitian tentang pelaksanaan pendidikan agama Islam di lingkungan pendidikan sekolah. Kedua, membahas kompetensi guru menurut perspektif pendidikan Islam, kompetensi guru menurut kajian teori pendidikan, kompetensi guru pendidikan agama Islam serta kompetensi guru berdasarkan standar nasional pendidikan. Ketiga, membahas pendidikan anak usia dini (PAUD) dan pendidikan pada Raudhatul Athfal. Keempat, membahas pendidikan dasar: Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Aliyah. Kelima, membahas pendidikan menengah: Madrasah Aliyah. Keenam, mengungkap pendidikan keagamaan Madrasah Diniyyah. Ketujuh, menguraikan pendidikan pondok pesantren. Kedelapan, menyoroti perguruan tinggi agama Islam.
Menurut pembahas, meskipun konten bahan ajar kapita selekta ini tergolong lengkap, namun belum bisa dianggap sempurna dan tajam pembahasannya. Masih ada beberapa topik yang terlewatkan dan perlu diungkap lebih jauh karena cukup urgen dalam rangka menjadikan teks ini lebih berbobot, aktual dan akan memberikan sumbangan siginifikan dalam mainstream pemikiran pendidikan Islam kontemporer. Beberapa topik yang masih perlu dibahas antara lain: model pendidikan Islam pada era global dan pendidikan generasi muda, pola kerja sama tri pusat pendidikan Islam, otonomi daerah dan pendidikan, reformasi pendidikan nasional, strategi pendidikan nasional, pendidikan Islam dan kemajuan sains, modernisasi pendidikan Islam dan epistemologi ilmu, manajemen berbasis sekolah (school based management) atau Manajemen Berbasis Madrasah atau (Madrasah Based Management (MBM ). Yang juga tidak kalah pentingnya untuk diungkap adalah ilustrasi kunjungan ke lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dianggap representatif sebagai model dan inspirator bagi pengembangan pendidikan Islam, pemaparan hasil laporan dan seminar hasil laporan (Uus Ruswandi et. all, 2005).
Menurut pembahas, persoalan model pendidikan Islam di era global perlu diungkap karena globalisasi belakangan ini menjadi fakta yang kita hadapi dan harus disikapi secara hati-hati. Terpaan gelombang globalisasi ternyata membawa implikasi yang cukup serius bagi dunia pendidikan. Pendidikan menjadi kian bergeser dari status dan fungsi awalnya yang cukup idealis, -sebagai human development-, kini, mau tidak mau dipaksa tereduksi hanya sebagai komoditas dan harus terbingkai dalam logika pasar. Disatu sisi ia menjadi eksklusif dan tak terjangkau oleh kalangan bawah, sehingga darwinisme sosial pun sulit dielakkan berlaku. Sedang disisi lain visi dan misinya tidak keluar dari koridor ekonomi (menyiapkan peserta didik sebagai homo economicus semata). Peserta didik disibukkan oleh rutinitas studi-studi berdasarkan kurikulum yang juga terasing dari kehidupan sosial. Misalnya, ketika bicara sains dan teknologi, peserta didik digiring untuk memusatkan diri pada teknologi yang bias sektor urban. Misalnya, mesin-mesin industri berat dan bukan perihal teknologi tepat guna, yang murah, mudah dijalankan dan langsung memberi manfaat kepada masyarakat kecil.
Globalisasi budaya dan peradaban semakin tak terbendung oleh sekat-sekat negara-bangsa. Globalisasi, seperti ditulis Victor Segesvary, tidak menghasilkan homogenitas peradaban, tetapi justru melahirkan kesadaran diversitas manusia di muka bumi dan melahirkan penemuan begitu luasnya budaya-budaya lokal. Pluralisme peradaban dengan begitu merupakan akibat saling pengaruh antara yang global dan yang lokal, yang universal dan yang partikular.
Di pihak lain, globalisasi menciptakan diferensiasi yang semakin rinci dan rumit sehingga klaim kebenaran yang partikular dan yang lokal itu menjadi semakin mungkin. Dengan demikian, globalisasi memiliki efek ganda: di satu sisi menciptakan kesadaran akan kemajemukan, tetapi di sisi lain menciptakan eksklusivisme partikular. Pada sisi yang terakhir inilah perbedaan mudah berubah menjadi pertentangan, dan pertentangan melahirkan terorisme.
Jeremy Rifkin, seorang pengamat kultural dan globalisasi kenamaan, dalam The Age of Access: How the Shift from ownership to access is transforming modern life (2000) mencemaskan adanya penghisapan ranah personal ke dalam ranah pasar, atau diistilahkan: The commodification of human relationship [32] Sehaluan dengan kritik Marcuse atas fenomena Totalitarianisme baru yang berjubahkan konsumerisme, namun dalam analisa yang jauh lebih sosiologis dan kaya dengan contoh-contoh ekspresi kebudayaan, Rifkin juga meratapi hilangnya multi-dimensionalitas manusia dan martabat khas kemanusiaan kita dengan berkata “jika setiap aspek hidup kita menjadi aktivitas yang bercirikan bayar-membayar, hidup manusia sendiri akhirnya menjadi produk komersial yang paling ultim, dan ranah komersial menjadi hakim akhir dari eksistensi personal dan kolektif kita.
Globalisasi diakui telah membawa dampak cukup serius dalam tatanan kehidupan umat beragama. Tak sedikit pemeluk agama yang gagal dalam menjaga tradisi, nilai-nilai, ritual dan simbol-simbol keagamaan akibat derasnya penetrasi arus globalisasi. Namun, globalisasi di pihak lain telah memberi pelajaran berharga bagi sebagian pemeluk agama. Banyak pemeluk agama yang kini memiliki daya resistensi dalam menolak efek negatif globalisasi. Bahkan yang menggembirakan, globalisasi telah memberi inspirasi sekaligus memotivasi umat beragama untuk memunculkan upaya-upaya kreatif dalam melestarikan jatidiri, identitas diri, bentuk budaya dan landasan-landasan religius.
Pendek kata, globalisasi telah membawa pengaruh terhadap cara-cara umat beragama dalam mengekspresikan kulitas keberagamaannya dan pola-pola hubungan dan komunikasi antar pemeluk beragama yang sangat beragam. Dalam konteks ini, pola-pola komunikasi dan hubungan di antara pemeluk agama dituntut semakin terbuka, toleran, terbuka, penuh kejujuran, cair dan semakin intens.
Dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia, maka sebagaimana dijelaskan di muka, harus ada minimal satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Dalam perspektif budaya, pendidikan di era global menjadi wahana penting dan medium yang efektif untuk mengajarkan norma, mensosialisasikan nilai, dan menanamkan etos di kalangan umat Islam. Pendidikan Islam dapat menjadi instrumen untuk memupuk kepribadian muslim, memperkuat identilas muslim, dan memantapkan jati diri muslim. Bahkan peran pendidikan menjadi lebih penting lagi ketika arus globalisasi demikian kuat yang membawa pengaruh nilai-nilai dan budaya yang acapkali bertentangan dengan nilai-nilai dan kepribadian bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, pendidikan dapat menjadi wahana strategis untuk membangun kesadaran kolektif (collective conscience) sebagai umat dan mengukuhkan ikatan-ikatan sosial, dengan tetap menghargai keragaman budaya, ras, suku-bangsa, dan agama, sehingga dapat memantapkan kerukunan sosial.
Persoalan reformasi pendidikan nasional tampaknya juga luput menjadi pembahasan dalam bahan ajar ini. Pada hal ini, era reformasi diakui menjadi titik balik bagi kita untuk menata kehidupan kebangsaan, termasuk pendidikan yang lebih demokratis. Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada kandungan, proses, dan manajemen sistem pendidikan. Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan memunculkan tuntutan baru dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan.
Tuntutan tersebut menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, di antaranya pembaharuan kurikulum, yaitu diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi daerah yang beragam, diversifikasi jenis pendidikan yang dilakukan secara profesional, penyusunan standar kompetensi tamatan yang berlaku secara nasional dan daerah menyesuaikan dengan kondisi setempat; penyusunan standar kualifikasi pendidik yang sesuai dengan tuntutan pelaksanaan tugas secara profesional; penyusunan standar pendanaan pendidikan untuk setiap satuan pendidikan sesuai prinsip-prinsip pemerataan dan keadilan; pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi; serta penyelenggaraan pendidikan dengan sistem terbuka dan multimakna. Pembaharuan sistem pendidikan juga meliputi penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat, serta pembedaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum.
Pembaharuan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Dengan visi pendidikan tersebut, pendidikan nasional mempunyai beberapa misi. (1). mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia. (2). membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar. (3). meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral. (4). meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global. (5). memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.
Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pembaharuan sistem pendidikan memerlukan strategi tertentu. Strategi pembangunan pendidikan nasional dalam UUSPN 2003 meliputi beberapa hal:
a. Pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia;
b. Pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi; proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
c. Evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan;
d. Peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan;
e. Penyediaan sarana belajar yang mendidik;
f. Pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan;
g. Penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata;
h. Pelaksanaan wajib belajar;
i. Pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan;
j. Pemberdayaan peran masyarakat;
k. Pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan
l. Pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.
Dengan strategi tersebut diharapkan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional dapat terwujud secara efektif dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan.
Pembaharuan dan penataan dunia pendidikan nasional melalui jalur normatif maupun implementatif perlu menjadi agenda wajib dalam pekerjaan pembangunan kita. Hal ini didasari beberapa alasan. Pertama, pendidikan merupakan salah satu kebutuhan yang paling fundamental bagi kehidupan manusia. Tanpa pendidikan, manusia tidak akan dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan potensinya. Untuk itu, ia sering dikatakan homo educandum yang berarti sebagai makhluk yang dapat dididik, mendidik dan perlu dididik.
Kedua, pendidikan merupakan institusi yang memegang posisi strategis dalam ikut menentukan masa depan bangsa kita. Melalui pendidikan, human investment dapat dilakukan untuk memajukan bangsa. Mengingat pentingnya pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa, maka ia tidak lagi diperlakukan secara tradisional-konservatif tetapi secara progresif. Penanganan pendidikan secara progresif ini lebih menitik-beratkan pada demokrasi dalam pendidikan dan dirasakan lebih dapat mengembangkan anak secara optimal sesuai dengan potensinya.
Menurut McRay (1994), fenomena kemajuan ekonomi bangsa-bangsa di Asia Timur pada dasarnya dipengaruhi oleh empat faktor: (1) keluwesan untuk melakukan diversifikasi produk sesuai dengan tuntutan pasar; (2) kemampuan penguasaan teknologi cepat melalui reverse engineering (contoh: computer clone); (3) besarnya tabungan masyarakat; (4) mutu pendidikan yang baik; dan (5) etos kerja. Diantara faktor-faktor tersebut, pendidikan (faktor 4) adalah merupakan simpul atau katalisator yang menyebabkan faktor-faktor 1,2,3 dan 5 terjadi (brought into being).
Persoalan bagaimana perjumpaan antara pendidikan Islam dengan kemajuan sain juga tidak memperoleh prioritas pembahasan dalam bahan ajar ini. Pada hal, permasalahan seputar krisis pendidikan Islam ketika dihadapkan dengan kemajuan sains menjadi sebuah agenda pekerjaan yang menuntut upaya pemecahan secara mendesak. Bahkan menurut sinyalemen al-Faruqi, krisis dalam aspek pendidikan inilah yang paling buruk dialami oleh dunia Islam. Memperhatikan permasalahan yang sangat kompleks ini, Syed Muhammad al-Naquib al-Attas memberikan analisis bahwa “yang menjadi penyebab kemunduran dan degenerasi kaum muslimin justru bersumber dari kelalaian mereka dalam merumuskan dan mengembangkan rencana pendidikan yang sistematis berdasarkan prinsip-prinsip Islam secara terkoordinasikan dan terpadu…”
Untuk itulah al-Faruqi menyatakan dengan tegas bahwa: agenda memecahkan problematika pendidikan Islam menjadi tugas rumah yang terberat bagi Umat islam pada abad ke 15 H. ini.” Sejalan dengan hal ini, Khursid Ahmad menyatakan bahwa di antara persoalan-persoalan yang dihadapi dunia Islam masa kini, persoalan pendidikan adalah tantangan yang paling berat, masa depan Islam akan sangat tergantung pada bagaimana dunia itu menghadapi tantangan ini.”
Berbagai pendapat dari para cendikiawan muslim ini telah memberi gambaran bahwa ada suatu problematika yang cukup serius dalam sistem pendidikan Islam selama ini, baik pada tataran konseptual maupun pada tataran aplikasinya. Untuk mengatasinya membutuhkan sebuah langkah reformulasi total sejak dari ide dan konseptualisasi sampai kepada aplikasi konsep pendidikan Islam. Meminjam istilah Winarno Surakhmad, diperlukan sebuah pendekatan yang lebih inteligent terhadap masalah kependidikan masa depan.” Jadi salah satu upaya stretegis untuk mengatasi berbagai krisis di dunia Islam saat ini dan masa yang akan datang adalah dengan memperkuat pendidikannya.
Sebenarnya umat Islam telah lama sadar bahwa perlu langkah reformulasi sistem kependidikan dan idenya tersebut. Hal ini bisa dibuktikan dengan telah dilaksanakannya beberapa kali konferensi pendidikan Islam se dunia seperti yang pertama dilaksanakan di Jeddah, Saudi Arabia, tanggal 31 Maret sampai dengan 8 April 1977, namun sangat disayangkan rekomendasi dari hasil konferensi itu belum terlaksana sepenuhnya, terutama dalam pengintegrasian nilai-nilai dan ideologi Islam ke dalam berbagai teori ilmu-ilmu sosial, kemanusiaan, filsafat, sosiologi serta pendidikan bagi wanita.
Memperhatikan itu semua kiranya para cendikiawan muslim perlu mengembangkan strategi pendekatan ganda dengan tujuan mengintegrasikan pendekatan situasional jangka pendek dengan pendekatan konseptual jangka panjang dengan melibatkan berbagai pakar dari berbagai disiplin ilmu, sambil senantiasa menelaah berbagai konsep yang telah ada yang dihasilkan oleh para cerdik cendikiawan muslim terkemuka di bidang pendidikan Islam, mengingat merekalah yang mengadakan perenungan dan pengelaborasiannya secara filosofis termasuk pula mengkritik dan mengevaluasi sistem pendidikan dan pelaksanaannya, serta sekaligus pula melakukan terobosan-terobosan baru yang urgen dan mendasar.
Hal ini lain yang belum disinggung dalam bahan ajar ini adalah masalah akseptasi konsep manajemen berbasis di sekolah (MBS) dalam lingkungan madrasah. Konsep MBS ini diadaptasikan dalam lingkungan madrasah menjadi manajemen berbasis madrasah (MBM). Menurut Pedoman Manajemen Berbasis Madrasah Departemen Agama RI (2003:13), Manajemen Berbasis Madrasah atau Madrasah Based Management ( MBM ) merupakan strategi untuk mewujudkan madrasah yang efektif dan produktif. Manajemen Berbasis Madrasah (MBM) merupakan paradigma baru manajemen pendidikan, yang memberikan otonomi luas kepada madrasah, dan pelibatan masyarakat dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar madrasah leluasa mengelolah sumber daya, sumber dana sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Juga merupakan sarana peningkatan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan
Manajemen Berbasis Madrasah (MBM) merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang memberikan atonomi kepada madrasah untuk mengatur kehidupan sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhannya. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi madrasah untuk meningkatkan kinerja para tenaga kependidikan. Dengan penerapan Manajemen Berbasis Madrasah (MBM), Madrasah memiliki “full authority and responsibility” dalam menetapkan program-program pendidikan dan berbagai kebijakan sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan serta bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah.
Madrasah merupakan ujung tombak terdepan dalam pelaksanaan proses pendidikan Islam. Sebagai lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang dari tradisi pendidikan agama dalam masyarakat, Madrasah memiliki arti penting sehingga keberadaannya terus diperjuangkan.
Madrasah adalah “Sekolah umum yang bercirikan Islam” menurut Departemen Agama, pengertian ini menunjukkan bahwa dari segi materi kurikulum, madrasah mengajarkan pengetahuan umum yang sama dengan sekolah-sekolah umum sederajat. Hanya saja yang membedakan madrasah dengan lembaga pendidikan umum adalah banyaknya pengetahuan agama yang diberikan, yang merupakan ciri khas Islam dan lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Departemen Agama.
Manajemen Berbasis Madrasah yang ditawarkan sebagai bentuk operasional desentralisasi pendidikan dalam kontek otonomi daerah akan memberikan wawasan baru terhadap sitem yang sedang berjalan selama ini. Hal ini diharapkan dapat membawa dampak terhadap peningkatan efisiensi dan efektivitas kinerja kerja madrasah, dengan menyediakan layanan pendidikan yang komprehensip dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Mengingat peserta didik datang dari berbagai latar belakang kesukuan dan tingkat sosial, salah satu perhatian madrasah harus ditujukan pada asas pemerataan, baik dalam bidang sosial, ekonomi maupun politik.. Disisi lain madrasah bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah.
Karakteristik dan MBM bisa diketahui antara lain dari bagaimana madrasah dapat mengoptimalkan kinerjanya, proses pembelajaran, pengolalaan sumber belajar, profesionalisme tenaga kependidikan, serta sistem administrasi secara keseluruhan.
Pada akhirnya bahan ini seyogyanya memberikan tawaran tentang bagaimana merekonstruksi atau membaharui pendidikan Islam agar bisa eksis di era modern. Upaya pembaharuan pendidikan Islam ini perlu dilakukan mengingat keberadaannya sangat strategis bagi umat Islam. Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif [kedewasaan], baik secara akal, mental maupun moral. Pendewasaan ini diperlukan dalam rangka mengemban tugas sebagai sebagai seorang hamba [abd] dihadapan Khaliq-nya dan sebagai “pemelihara” [khalifah] pada semesta [Tafsir, 1994].
Dalam konteks ini, fungsi praktis pendidikan Islam adalah membekali peserta didik [generasi penerus] dengan kemampuan dan keahlian [skill] agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat [lingkungan]. Tujuan akhir pendidikan dalam Islam, sebagai proses pembentukan diri peserta didik [manusia] agar sesuai dengan fitrah keberadaannya [al-Attas, 1984]. Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan -terutama peserta didik -- untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Pada masa kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran. Bahkan dalam paradigma pun terjadi pergeseran dari paradigma aktif-progresif menjadi pasif-defensif. Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses 'isolasi diri' dan termarginalkan dari lingkungan di mana ia berada.
Dari pandangan di atas, dapat dikatakan peran pendidikan Islam mestinya bukan hanya “dipahami dalam konteks mikro [kepentingan anak didik yang dilayani melalui proses interaksi pendidikan], melainkan juga dalam konteks makro, yaitu kepentingan masyarakat yang dalam hal ini mencakup masyarakat, bangsa, negara dan bahkan manusia pada umumnya” [ Fasli Jalal, 2001:16-17.]. Berangkat dari sini, pendidikan Islam terintegrasi antara proses belajar di sekolah dengan belajar di masyarakat [learning society]. Cara berpikir ini juga sejalan dengan pendapat Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education [1978], yang mengakui adanya hubungan pendidikan dengan masyarakat baik dalam dimensi sosial, ekonomi, politik dan negara. Mengingat pendidikan berlangsung di masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka kegiatan untuk memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan secara simultan. Sedangkan, secara mikro pendidikan senantiasa memperhitungkan individualitas atau karakteristik perbedaan antara individu peserta didik [Fasli Jalal, 2001: 16], dalam kerangka interaksi proses belajar.
Terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran ideal sebagaimana pernah dijalankan pada masa keemasan Islam dengan karakteristiknya yang aktif-progresif. Pertama, menempatkan kembali seluruh aktifitas pendidikan [talab alilm] di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktifitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama, di mana tujuan akhir dari seluruh aktifitas tersebut adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridlo Allah. Kedua, adanya perimbangan [balancing] antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan Islam adalah kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada kajian agama dan memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non-agama dalam dunia pendidikan Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat. Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal.. Karena, selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Dengan menghilangkan ,minimal membuka kembali, sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan, maka wilayah pengembangan intelektual akan semakin luas yang, tentunya, akan membuka peluang lebih lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia pendidikan Islam pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya. Keempat, mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu, materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi yang applicable dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu menghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi tantangan jaman dan peka terhadap lingkungan
Naskah bahan ajara ini sebaiknya juga merekam kemajuan-kemajuan yang dicapai umat Islam dalam melakukan inovasi pendidikan. Di Indonesia kita kenal, berbagai bentuk dan jenis pendidikan Islam, seperti Pondok Pesantren, Madrasah, Sekolah Umum bercirikan Islam, Perguruan Tinggi Islam dan jenis-jenis pendidikan Islam luar sekolah, seperti Taman Pendidikan al-Qur’an [TPA], Pesantrenisasi dan sebagainya. Kesemuanya itu, sesungguhnya merupakan aset dan salah satu dari konfigurasi sistem pendidikan nasional Indonesia. Keberadaan lembaga-lembaga pendidikan tersebut, sebagai khasanah pendidikan dan diharapkan dapat membangun dan memberdayakan umat Islam di Indonesia secara optimal, tetapi pada kenyataan pendidikan Islam di Indonesia tidak memiliki kesempatan yang luas untuk bersaiang dalam membangun umat yang besar ini. Memang terasa janggal dan mungkin juga lucu, karena dalam suatu komunitas masyarakat muslim yang besar pendidikan Islam [Madrasah] kurang mendapatkan kesempatan untuk berkembang secara optimal. Mungkin ada benarnya, pepatah yang mengakatakan bahwa “ayam mati kelaparan di lumbung padi”, artinya, pada kenyataannya pendidikan Islam tidak mendapat kesempatan yang luas dan seimbang dengan umatnya yang besar di bumi Indonesia ini.
Akhir-akhir ini terlihat pendidikan Islam mulai mengalami kemajuan, hal ini terbukti dengan semakin bertambah jumlah [kuantitatif] dan kokohnya keberadaan lembaga pendidikan Islam, artinya masuknya pendidikan agama/madrasah ke dalam mainstream pendidikan nasional, misalnya pada pendidikan tingkat madrasah sekarang ini, sejak ibtidaiyah sampai aliyah sudah mengikuti kurikulum nasional. Dengan demikian aliyah tidak lagi khusus mengaji atau mendalami masalah-masalah keagamaan sebagaimana dulunya. Namun sudah ada madrasah yang membuka jurusan IPA, sosial, keterampilan dan lain-lain [Azyumardi Azra,http://islamlib.com/WAWANCARA/azra3.html,6/27/2003], serta munculnya beberapa jenis serta model pendidikan yang ditawarkan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Namun pada kenyataannya tantangan yang dihadapi pendidikan Islam tetap saja kompleks dan berat, karena dunia pendidikan Islam juga dituntut untuk memberikan konstribusi bagi kemoderenan dan tendensi globalisasi, sehingga mau tidak mau pendidikan Islam dituntut menyusun langkah-langkah perubahan yang mendasar, menuntut terjadinya diversifikasi dan diferensiasi keilmuan dan atau mencari pendidikan alternatif yang inovatif.
Kondisi ini menuntut kerja serius dari para pengelola lembaga-lembaga pendidikan dalam mengembangkan mutu pendidikannya. Meminjam pernyataan A.Mukti Ali, kelemahan-kelemahan pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini lebih disebabkan oleh faktor-faktor penguasaan sistem dan metode, bahasa sebagai alat, ketajaman interpretasi [insinght], kelembagaan [oraganisasi], manajemen, serta penguasaan ilmu dan teknologi. Berkaitan dengan hal ini, M.Arifin, juga menyatakan bahwa pendidikan Islam harus didesak untuk melakukan inovasi yang tidak hanya berkaitan dengan perangkat kurikulum dan manajemen, tetapi juga menyangkut dengan startegi dan taktik operasionalnya. Straegi dan taktik itu, menuntut perombakan model-model pendidikan sampai dengan institusiinstitusinya, sehingga lebih efektif dan efisien, dalam arti pedagogis, sosiologis dan kultural dalam menunjukkan perannya (M.Arifin, 1991:3). A. Syafii Maarif, menggambarkan situasi pendidikan Islam di Indonesia sampai awal abad ini tidak banyak berbeda dengan perhitungan kasar yang dikemukakan di atas. Sistem madrasah dan pesantren yang berkembang di nusantara ini dengan segala kelebihannya, juga tidak disiapkan untuk membangun peradaban (A. Syafii Maarif, 1996: 5).
Mencermati kondisi tersebut di atas, penataan sistem dan model-model pendidikan Islam di Indonesia adalah sesuatu yang tidak terelakkan lagi. Sistem pengembangan pendidikan Islam hendaknya dipilih dari kegiatan pendidikan yang paling mendesak dan sentral yang akan menjadi model dasar untuk usaha pengembangan model-model pendidikan Islam selanjutnya, dengan tidak meninggalkan lembaga-lembaga pendidikan seperti keluarga, sekolah dan madrasah, masjid, pondok pesantren, dan pendidikan luar sekolah lainnya tetap dipertahankan keberadaannya. Yahya Muhaimin [mantan Menteri pendidikan Nasional], juga “menawarkan sebuah mindmp tentang basis-basis pendidikan, yaitu pendidikan berbasis keluarga [family-based education], pendidikan berbasis komunitas [community-based education], pendidikan berbasis sekolah [school-based education], dan pendidikan berbasis tempat kerja [workplacebased education]” (Yahya Muhaimin,2000:1).
Dari pandangan Yahya Muhaimin tersebut, apabila dicermati model-model pendidikan Islam sekarang ini sekurang-kurangnya berbasis pada empat jenis lembaga pendidikan Islam yang dapat mengambil peran dalam memberdayakan umat, yaitu pendidikan Islam berbais pondok pesantren, pendidikan Islam berbasis pada Mesjid, pendidikan Islam berbasis pada sekolah atau madrasah, dan pendidikan Islam berbasis pada pendidikan umum yang bernafaskan Islam Lembaga pendidikan yang berbasis pada pondok pesantren, sebagai model pendidikan Islam yang dapat mengembangkan atau memperluas sistem pendidikan nonformalnya pada pelayanan pendidikan yang meliputi berbagai jenis bidang misalnya, seperti pertanian, peternakan, kesehatan, kesenian, kepramukaan, iptek, dan pelbagain keterampilan, kemahiran dan sebagainya Pondok pesantren, seharusnya memperluas pelayanan pendidikan kepada masyarakat secara wajar dan sistematis, sehingga apa yang disajikan kepada masyarakat akan tetap terasa bermuara pada pandangan dan sikap Islami, dan terasa bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Begitu juga mengenai aktivitas mesjid harus dijadikan basis pembinaan umat. Materi-materi kajian pendidikan Islam yang disampaikan lewat khotbah jum’ah dan ceramah-cemah harus dapat di sesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi realitas umat yang dihadapi dan mengantisipasi kondisi perubahan masa depan. Pondok pesantren dan masjid perlu menggalang kerjasama dengan para ulama dan para cendekiawan muslim yang di luar atau yang tergabung dalam perguruan tinggi yang ada di sekitarnya Adapun peran jenis pendidikan yang berbais pada madrasah dan pendidikan umum yang bernafaskan Islam, adalah dalam upaya menemukan pembaruan dalam sistem pendidikan formal yang meliputi metode pengajaran baik agama maupun umum yang efektif. inovasi dibidang kurikulum, alat-alat pelajaran, lingkungan yang mendidik, guru yang kreatif dan penuh dedikasi dan sebagainya sangat diperlukan (Suroyo, 1991: 77-78).
Karel Steenbrink, menyatakan bahwa keberadaan pendidikan Islam di Indonesia cukup variatif. Tetapi Steenbrink, mengkategori pendidikan tersebut dalam tiga jenis, yaitu pendidikan Islam yang berbasis pada pondok pesentrean, madrasah dan sekolah. Ketiga jenis pendidikan ini diharapkan menjadi “modal” dalam upaya mengintegrasikan ilmu pengetahuan sebagai suatu paradigma didaktik metodologis. Sebab, pengembangan keilmuan yang integral [interdisipliner] akan mampu manjawab kesan dikotimis dalam lembaga pendidikan Islam selama ini berkembang.
Pada sisi lain, muncul pula jenis pendidikan luar sekolah bagi anak-anak muslim dengan model pesantrenisasi dan TPA [Taman Pendidikan al-Qur’an].Pendidikan pesantrenisasi sebagai jenis pendidikan Islam yang muncul sebagai kekuatan pendidikan Islam, walaupun dilaksanakan secara insidental pada setiap bulan Ramadlan, tetapi terencana dan terprogram oleh sekolah-sekolah. Artinya, pada liburan bulan Ramadlan peserta didik dikonsentasikan atau “dikemkan” pada suatu tempat untuk mendapatkan ceramah-ceramah agama Islam dan paraktek-praktek ibadah selama satu minggu atau lebih. Tetapi sayangnya pendidikan model ini belum ditintak lanjuti dan dievaluasi efiktitas dan efisiensi prosesnya baik dari kurikulum dan materi, metode, pengajar, waktu pelaksanaan dan organisasi. Kemudian, terdapat pula “Taman Pendidikan al-Qur’an” [TPA], sebagai kekuatan pendidikan Islam yang muncul dengan metode dan teknik baru yang dapat menghasilkan output yang mampu membaca al-Qur’an dalam waktu yang relatif singkat.
Dapat kita saksikan produk TPA dengan bangga di wisuda oleh seorang Menteri bahkan tidak tanggung-tanggung oleh Presiden [zaman Presiden Soeharto]. Tetapi sampai saat ini belum terpikirkan tindak lanjut dari usaha pendidikan ini, karena selesai wisuda selesailah usaha pendidikan tersebut. Tetapi, harus diakui bahwa jenis pendidikan Qur’an ini, merupakan hasil inovasi dari model pengajaran al-Qur’an model lama. “Model pendidikan TPA yang ada sekarang merupakan hasil inovasi pendidikan dan perbaikan model pengajaran al-Qur’an tempo dulu itu. Maka dalam model TPA, seorang peserta didik tidak perlu berlama-lama belajar membaca al-Qur’an. Dalam waktu singkat ia telah dapat menguasainya, maka apabila dilihat dari segi didaktik metodik, TPA lebih efektif dan efisien dari pada model pengajaran al-Qur’an model lama1 (Hajar Dewantoro,1997:90).
Perkembangan yang mencolok pada tahun 90-an adalah munculnya sekolah-sekolah elite Muslim yang dikenal sbagai “sekolah Islam”. Sekolahs ekolah itu mulai menyatakan dirinya secara formal dan diakui oleh banyak kaum Muslim sebagai “sekolah unggulan” atau “sekolah Islam unggulan”. Istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut sekolah-sekolah tersebut adalah “SMU Model” atau “Sekolah Menengah Umum [Islam] Model”. Dapat saja disebut, sekolah Islam al-Azhar yang berlokasi di komplek Masjid Agung al-Azhar di Kebayoran Baru Jakarta, dengan beberapa cabang seperti Cirebon, Surabaya,Sukabumi, Serang, Semarang dan sebagainya. Sekolah al-Izhar2 di Pondok Labu, Jakarta, SMU Insan Cendekia3 di Serpong dan SMU Madinah di Parung.
Saat ini lembaga-lembaga pendidikan Islam harus mendisain model-model pendidikan alternatif yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan sekarang ini. Muncul pertanyaan model-model pendidikan Islam yang bagaimana? Yang diharapkan dapat menghadapi dan menjawan tantangan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik sosial maupun kultural menuju masyarakat Indonesia baru. Untuk menjawab pertanyaan ini, meminjam prinsip hakekat pendidikan Islam yang digunakan Hasim Amir, yang mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang idealistik, yakni pendidikan yang integralistik, humanistik, pragmatik dan berakar pada budaya kuat (A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam,:37).
Pertama, pendidikan integralistik, merupakan model pendidikan yang diorientasikan pada komponen-komponen kehidupan yang meliputi: Pendidikan yang berorientasi pada Rabbaniyah [Ketuhanan], insaniyah [kemanusiaan] dan alamiyah [alam pada umumnya], sebagai suatu yang integralistik bagi perwujudan kehidupan yang baik dan untuk mewujudkan rahmatan lil ‘alamin, serta pendidikan yang mengangap manusia sebagai sebuah pribadi jasmani-rohani, intelektual, perasaan dan individual-sosial.
Pendidikan integralistik diharapkan dapat menghasilkan manusia [peserta didik] yang memiliki integritas tinggi, yang dapat bersyukur dan menyatu dengan kehendak Tuhannya, menyatu dengan dirinya sendiri sehingga tidak memiliki kepribadian belah atau kepribadian mendua, menyatu dengan masyarakat sehingga dapat menghilangkan disintegrasi sosial, dan dapat menyatu dengan alam sehingga tidak membuat kerusakan, tetapi menjaga, memlihara dan memberdayakan serta mengoptimalkan potensi alam sesuai kebutuhan manusia.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam adalah pendidikan yang bersumber dari konsep Ketuhanan [Teosentris], artinya pendidikan Islam harus berkembang dan dikembangkan berdasarkan teologi tersebut. Konsep kemanusiaan, artinya dengan konsep ini dapat dikembangnya antropologi dan sosiologi pendidikan Islam, dan konsep alam dapat dikembangkannya konsep pendidikan kosmologi dan ketiga konsep ini harus dikembangkan seimbang dan integratif.
Kedua, pendidikan yang humanistik, merupakan model pendidikan yang berorientasi dan memandang manusia sebagai manusia [humanisasi], yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrahnya. Maka manusia sebagai makhluk hidup, ia harus mampu melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya. Maka posisi pendidikan dapat membangun proses humanisasi, artinya menghargai hak-hak asasi manusia, seperti hak untuk berlaku dan diperlakukan dengan adil, hak untuk menyuarakan kebenaran, hak untuk berbuat kasih sayang, dan lain sebagainya.
Pendidikan humanistik, diharapkan dapat mengembalikan peran dan fungsi manusia yaitu mengembalikan manusia kepada fitrahnya sebagai sebaik-baik makhluk [khairu ummah]. Maka, manusia “yang manusiawi” yang dihasilkan oleh pendidikan yang humanistik diharapkan dapat mengembangkan dan membentuk manusia berpikir, berasa dan berkemauan dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang dapat mengganti sifat individualistik, egoistik, egosentrik dengan sifat kasih sayang kepada sesama manusia, sifat menghormati dan dihormati, sifat ingin memberi dan menerima, sifat saling menolong, sifat ingin mencari kesamaan, sifat menghargai hak-hak asasi manusia, sifat menghargai perbedaan dan sebagainya.
Ketiga, penddidikan pragmatik adalah pendidikan yang memandang manusia sebagai makhluk hidup yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya baik bersifat jasmani maupun rohani, seperti berpikir, merasa, aktualisasi diri, keadilan, dan kebutuhan spritual ilahiyah. Dengan demikian, model pendidikan dengan pendekatan pragmatik diharapkan dapat mencetak manusia pragmatik yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan hidupnya, peka terhadap masalah-masalah sosial kemanausiaan dan dapat membedakan manusia dari kondisi dan siatuasi yang tidak manusiawi.
Keempat, pendidikan yang berakar pada budaya, yaitu pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah, baik sejarah kemanusiaan pada umumnya maupun sejarah kebudayaan suatu bangsa, kelompok etnis, atau suatu masyarakat tertentu. Maka dengan model pendidikan yang berakar pada budaya, diharapkan dapat membentuk manusia yang mempunyai kepribadian, harga diri, percaya pada diri sendiri, dan membangun peradaban berdasarkan budaya sendiri yang akan menjadi warisan monumental dari nenek moyangnya dan bukan budaya bangsa lain (A. Malik Fadjar,1999:37-39). Tetapi dalam hal ini bukan berarti kita menjadi orang yang anti kemodernan, perubahan, reformasi dan menolak begitu saja arus transformasi budaya dari luar tanpa melakukan seleksi dan alasan yang kuat.
Usaha pembaruan dan peningkatan kualitas pendidikan Islam sering bersifat sepotong-sepotong atau tidak komprehensif dan menyeluruh dan terkesan tambal sulam, sehingga "sebagain besar sistem pendidikan Islam, belum dikelolah secara profesional" [Azyumardi Azra, 1999:59]. Hal inipun didukung dengan "upaya pembaruan pendidikan Islam secara mendasar selalu dihambat oleh berbagai masalah, mulai dari persoalan dana sampai dengan tenaga ahli yang belum siap melakukan perubahan. Untuk itu, pendidikan Islam dewasa ini, dari segi apa saja terlihat rapuh terutama karena orientasi yang semakin tidak jelas" [Muslih Usa, 1991:11]. Dengan kenyataan ini, semestinya "sistem pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasi diri kepada menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat kita sebagai konsekuensi logis dari perubahan" [Azyumardi Azra, 1999:57], apabila tidak, maka pendidikan Islam di Indonesia akan ketinggalan dalam persaingan global. Mencermati permasalah kondisi pendidikan yang dikemukakan, maka ada dua alasan pokok yang perlu dilakukan pembaruan pada pendidikan Islam di Indonesia, yaitu : Pertama, konsepsi dan praktek pendidikan Islam sebagaimana tercermin pada kelembagaannya dan isi programnya didasarkan pada konsep atau pengertian pendidikan Islam yang sangat sempit yang hanya atau terlalu menekankan pada kepentingan akhirat. Kedua, lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikenal sekarang ini, seperti madrasah dan pesantren, kurang mampu memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menghadapi tantangan dan kebutuhan masyarakat yang selalau mengalami perubahan dan politik bangsa Indonesia yang sedang mengalami perubahan. UNtuk menghadapi tuntutan dan perubahan masyarakat menuju masyarakat milenium diperlukan usaha pembaruan pendidikan Islam secara terencana, sistimatis dan mendasar. Pembaharuan ini bertumpu pada hal.
Pertama, perubahan pada konsepsi, praktek, dan isi program pendidikan Islam dilakukan upaya pembaruan sebagai berikut : (1) perlu pemikiran untuk menyusun kembali "konsep pendidikan Islam yang betul-betul didasarkan pada asumsi dasar tentang manusia, terutama pada fitrah atau potensinya (Anwar Jasin, 1985:7-8) dengan memberdayakan potensi-potensi yang ada pada manusia sesuai dengan tuntutan dan perubahan masyarakat, (2) pendidikan Islam harus didisain menuju pada integritas antara ilmu-ilmu naqliah dan ilmu-ilmu 'aqliah, untuk tidak menciptakan jurang pemisah antara ilmu-ilmu yang disebut ilmu agama dan ilmu bukan ilmu agama atau ilmu umum. Karena, dalam pandangan Islam, semua ilmu pengetahuan bersumber dari Allah SWT. (3) "pendidikan didisain menuju tercapainya sikap dan perilaku "toleransi", lapang dada dalam berbagai hal dan bidang, terutama toleran dalam perbedaan pendapat dan penafsiran ajaran Islam, tanpa melepaskan pendapat atau prinsipnya yang diyakini, (4) pendidikan yang mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan mandiri dalam kehidupan, (5) pendidikan yang menumbuhkan ethos kerja, mempunyai aspirasi pada kerja, disiplin dan jujur" [Suroyo, 1991: 45-48] (6) pendidikan Islam didisain untuk menyiapkan generasi Islam yang berkualitas untuk mampu menjawab tantangan dan perubahan masyarakat dalam semua sektor kehidupan dan siap memasuki milenium ketiga, (7) pendidikan Islam perlu didisain secara terencana, sistimatik, dan mendasar agar lentur terhadap perubahan masyarakat dan peradaban.
Kedua, perubahan pada kelembagaan pendidikan Islam yaitu (1) perlu menyusun visi dan misi pendidikan Islam menuju milenium ketiga, (2) perlu penataan dan memodernisasika manajemen pendidikan Islam, (3) lembaga pendidikan dikelola secara profesional dengan didasarkan pada prinsip kreatif, otonom, demokratis, transparan, berkualitas, relevan, dan efesiensi, (4) sistem rekruiting yang transparan dan berkualitas, (5) pengelolah lembaga pendidikan Islam perlu lapang dada, berani, dan terbuka untuk dapat menerima murid-murid atau mahasiswa-mahasiswa non-Islam. Mereka dapat mempelajari dan mengetahui Islam melalui institusi-institusi pendidikan Islam, bukan dari institusi-institusi non-Islam. "Al-Azhar, menurut Fazlur Rahman suatu lembaga tradisional yang terbesar dewasa ini" [Fazlur Rahman, 1997:281], juga menerima mahasiswa-mahasiswa non-muslim belajar di Al-Azhar. Terobosan menerima masiswa non-Muslim, sudah dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi Islam dengan menerima para pemeluk agama lain untuk belajar.


DAFTAR PUSTAKA

Arifin, M, 1991, Kapita Selekta Pendidikan, Bina Aksara, Jakarta.
Azra, Azyumardi.,1999, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru, Logo Macana Ilmu, Jakarta.
-------,Pendidikan Agama Harus Rasional dan Toleran, http:// islamlib.com/ WAWAN CARA/azra3.html,6/27/2003
Dewantoro, Hajar., 1997, “Urgensi Inovasi Pendidikan dalam Pemberdayaan Umat”, dalam : Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ [Penyunting], Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrialisasi, Aditiya Media, Yogyakarta.
Fadjar, A. Malik., 1999, Reformasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia.
Maarif, A.Syafii., 1996, “Keutuhan dan Kebersamaan dalam Pengelolaan Pendidikan Sebagai Wahana Pendidikan Muhammadiyah”, makalah disampaikan pada Rakernas Pendidikan Muhammadiyah, di Pondok Gede, Jakarta.
Muhaimin, Yahya [Menteri Pendidikan Nasional], 2000, “Reformasi Pendidikan Nasional Munuju Indonesia”, Majalah Dwiwutan BPK Penabur Jakarta,
Midyawarta, No. 69/Thn.XII, From: http://www.bpk. Penabur. or.id/ KPS. Jkt/ widya/69/69.pdt.
Suroyo, 1991, Perbagai Persoalan Pendidikan; Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Pendidikan Islam, Kajian tentang Konsepo Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, Volem 1 Tahun
1991, Fakultas Tarbiyah IAIN, Yogyakarta.
--------,1992, ”Pendidikan Islam di Indonesia Merancang Masa Depan”, UNISIA,No.12 Th. XIII,1992,UII,Yogyakarta.
Sudiro, M. Irsyad., Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, Cirebon, Tanggal, 30 Agustus – 1 September 1995.
Steenbrink, Karel A., 1994, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, Cet. Kedua, Jakarta: LP3ES,
Syafii Maarif, Ahmad., 1997, “Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Bangsa, dalam: Muslih Usa [Penyun.], Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrialisasi, Aditya Media bekerja sama dengan Fakultas Tarbiyah UII, Yogyakarta.
Rahman, Fazlur., 1985, Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual, Terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka.